Minggu, 18 September 2011

“Kebebasan Beragama di Indonesia ; SKB Mentri Versus UUD 1945” (Analisis Sederhana Tentang Masa Depan Kerukunan Beragama di Bumi Pancasila)

I.        Indonesia; Bumi Pancasila.
Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia, yang terdiri dari  kurang lebih 17  ribu buah pulau kecil dan besar, dengn 5 buah pulau besar yakni: pulau Sumatera, pulau Jawa, pulau Kalimantan, pulau Sulawesi dan  pulau Irian (Papua). Kepulauaan Indonesia ini terletak di bawah garis katulistiwa, memanjang diantara benua  Asia dan Australia serta diantara lautan Teduh (Pasifik ) dan lautan Indonesia (Hindia). Letak geografis yang demikian menjadikan Indonesia berada di persimpangan jalan yang strategis dan ramai sekali[1]. Sejak permulaan tarikh Masehi, banyak bangsa telah datang dan pergi untuk berdagang dan atau akhirnya menetap di Indonesia, kawin mawin dengan penduduk asli dan beranak pinak. Oleh karena itu sudah sejak dulu, masyarakat Indonesia telah terbentuk menjadi masyarakat yang majemuk dalam banyak hal, terdiri atas berbagai suku, bagsa, bahasa, adat budaya, agama dan kepercayaan.
Asal muasal suku bangsa Indonesia sendiri seperti yang kita kenal adalah orang Indo-Cina yang biasa dikenal orang sebagai Deutro-Melayu, berasal dari daerah Yunan, suatu tempat di Cina Selatan pada hulu sungai Mekong[2]. Selain itu datang pula bangsa-bangsa dari Cina, India, Persia, Arab, Eropa dan lain-lain. Kehidupan orang Melayu umumnya berpusat pada pertanian dengan membentuk struktur sosialnya yang cocok adalah Desa yang mensyaratkan kerja sama yang luas diantara penduduk. Suatus istem social yang pada gilirannya melahirkan cara pengambilan keputusan bersama. Kepercayaannya adalah animisme dan dinamisme. Namun sikap sosiologisnya ditandai dengan kuatnya adat istiadat dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan di dalam tindakan, gotong royong maupun di dalam pengambilan keputusan atau musyawarah dengan tujuan menjaga serta memelihara keserasian serta keselarasan hubungan di dalam kelompok.[3] Kemudian juga datanglah pengaruh-pengaruh Hindu dan Budha yang melahirkan kerajaan-kerajaan Indonesia yang dilahirkan oleh bangsa Indonesia sendiri seperti Kutai, Tarumanegara, mataram Kuno, Kahuripan, Singasari dan Majapahit. Bersamaan dengan itu Agama Hindu dan Budha sudah diterima dan menyatu dengan banyak nilai-nilai asli indonesia. Hindu dan Budha juga sudah diterima sebagai agama Negara[4].
Lama kelamaan, Hindhu dan Budha ini makin menyatu sehingga pada Zaman Majapahit munculah semboyan Bhineka Tunggal Ika (dari buku/kitab Sutasoma). Khususnya di Jawa Timur pada akhir abad ke-12 M, berkembang aliran Tantriisme yang merupakan sinkritisme atau perpaduan antara Shivaisme dalam Hindu dan Budhisme. Bhineka Tungal Ika juga sebetulnya merupakan cerminan dari kemajemukan, sekaligus simbol kehidupan yang damai dan selaras dalam komunitas yang Majemuk, suku mangsa maupun agama. Kehidupa kemajemukan yang sudah berakar dari generasi ke generasi serta kejiwaan Timur yang begitu menekankan aspek rasa, secara sosiologis telah membentuk sifat dari sikap hidup yang cinta keselarasan dan keserasian (harmony), cinta damai dan tidak suka pengkutuban (polarisasi), toleran, gotong royong dan sinkritistis dengan sisi positif dan negatifnya.[5]  Hidup berdampingan dengan agama lain, suku bangsa lain bagi Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Tidak heran bila dikemudian hari ketika negara ini terbentuk menjadi Indonesia, Motto yang dipakai dulu di Majapahit untuk menggambarkan kemajemukan, toleransi beragama dan keselarasan, juga di pakai oleh negara ini untuk menggambarkan keistimewaan dan kekhasan bangsa yang terkenal dengan nilai-nilai luhurnya itu.
Selanjutnya ketika Agama Islam masuk ke Indonesia dan menanamkan pengaruhnya pada hampir seluruh lapisan masyarakat dan berhasil menjadi agama bagi sebagian besar rakyat Indonesia, disini juga terjadi proses asimilasi dengan budaya Indonesia. Ketika asimilasi belum juga tuntas, terjadilah interupsi dengan kedatanga peradaban Barat melalui penjajahan Portugis, Spanyol dan Belanda. Bersamaan denga itu, datang pula Agama Katolik dan Protestan. Kehadiran dan perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia pada galibnya menimbulkan gesekan-gesekan dalam kehidupan dalam kemajemukan itu. Dari rentang waktu perjalanan sejarah dan berbagai informasi akhir-akhir ini, betapa nyata bahwa perjumpaan antara pemeluk agama yang berlainan terutama antara Islam dan Kristen sering diwarnai oleh prasangka buruk, ketegangan, kebencian, pertkaian dan permusuhan yang berlarut-larut[6]. Padahal kehidupan yang damai dan harmonis dalam komunitas masyarakat Nusantara yang majemuk telah ada sejak dulu sebelum Agama Islam dan  Agama Kristen masuk.  Nilai-nilai itulah yang telah menjadi, identitas dan ciri orang Indonesia dengan budaya ketimurannya yang santun.[7]
Indonesia yang majemuk, Indonesia yang plural secara suku, ras dan agama dengan nilai-nilai luhurnya sejak dulu, itulah bumi kita, bumi Pancasila. Kemudian Dasar-dasar Pancasila itu mencerminkan identitas bangsa ini. Namun demikian, kemajemukan bangsa yang di satu sisi adalah kekayaan, keindahan, dan kebanggaan bangsa Indonesia, di sisi lain juga menjadi ancaman dan potensi konflik yang bisa terjadi. Sejarah mencatat bahwa gesekan Islam dan Kristen yang berbuntut pada konflik horizontal dan pembakaran, dan pelarangan mendirikan rumah-rumah ibadah oleh komunitas agama tertentu, adalah fakaa dan sisi lain dari kehidupan kemajemukan kita sebagai bangsa.
Adalah Soekarno, di awal kemerdekaan bangsa Indonesia ini yang menyadari sepenuhnya kehadiran kemajemukan kelompok etnik dan agama ini, dan berusaha mencari suatu dasar yang ideal dan dapat diterima untuk pembentukan bangsa yang dimimpikannya. Mengingat nama “Indonesia” lahir dari otak ilmuan, maka ia mencari dasar di komunitas ilmiah pula. Ia menemukan ide pembentukan bangsa yang dipaparkan filsuf Ernest Renan di Amphitetre Sorbonne, 11 Maret 1882 pukul 14.00. Paparan itu berjudul “Qu’est qu’ene nation? (apakah yang dimaksud dengan bangsa?) Dan inti jawaban itu adalah bangsa adalah tekad untuk hidup bersama, hidup bersama dalam keperbedaaan.  

II.          Munculnya “Politik Identitas” keagamaan.
Apa yang baik yang di usung Soekarno dan juga yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini, sepeninggalnya mereka  hal itu diabaikan begitu saja. Apa yang tersurat bahwa bangsa adalah tekad untuk memabangun hidup persama di bawah satu dasar Negara mulai bergeser ke arah politik identitas berdasarkan agama. Dalam politik seperti ini yang menjadi tujuan terakhir dalam berbagai usaha di bidang politik, sosial, ekonomi dsb, tidak lagi untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi demi kepentingan kelompok agamanya.
Politik identitas semacam ini muncul juga karena, ada catatan sejarah yang sepertinya “masih belum selesai”, khususnya pada saat dasar negar ini disusun. Kita ketahui bahwa ada beberapa pembicara pada saat siding BPUPKI yang mengusulkan tentang dasar negara Indonesia, salah satunya adalah Ki Bagoes Hadikoesoema. Pada 31 Mei 1945, ia bebicara panjang lebar dengan menginginkan dasar negar kita adalah Islam, hadist dan Quran sebagai rujukan argumentasinya. Namun ketika Islam tidak diterima oleh BPUPKI dan PPKI sebagai dasar Negara,[8] ada sesuatu yang menarik yang disampaikan oleh Ki Bagoes di akhir penjelasannya itu, yakni:
…”Al-Quran yang berisi lebih dari 6000 ayat itu hanya ada kira-kira 600 ayat saja yang mengenai hal ibadah dan akhirat, sedangkan selebihnya mengenai tata Negara dan urusan keduniaan. Bahwa apabila negara kita ini tidak bersendi agama Islam, kalau-kalau sampai penduduk yang terbanyak itu bersikap dingin terhadap Negara. Sebab umat Islam adalah umat yang mempunyai cita-cita yang luhur dan mulia sejak dahulu hingga sekarang ini seterusnya pada masa yang akan datang, yaitu ada kemungkinan dan kesempatan, pastilah umat islam akan membangun Negara atau menyusun masyarakat yang didasarkan atas hukum Islam dan sungguh, yang demikian itu memang telah menjadi tanggungan dan kewajiban umat Islam terhadap agamanya, apabila tidak berbuat demikian berdosalah mereka kepada Allah Tuhannya[9]

Walaupun nampaknya dalam siding lanjutan tertanggal 14 juli 1945, terliha Ki Bagoes lebih bisa menerima dasar Negara Pancasila dan bukan  dasar Negara Islam,[10] namun cita-cita itu tetap hidup, karena merupakan ideologi Islam.
Upaya untuk menjadikan negara ini dengan dasar Islam juga masih terus berlanjut, dan ini nampak dalam rancangan Unndang-Undang Dasar sementara dari kelompok Prof. Dr. P.A.H Djadjadiningrat tertanggal 15 Juni 1945, yang kemudian lebih dikenal dengan  sebutan Piagam Jakarta[11]. Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, walaupun pada akhirnya Islam sebagai dasar negara tidak diterima, namun upaya itu tetap dilakukan. Ibarat sebuah proyek yang tertunda. Bila politik identitas-agama ini terus berjalan semakin meluas dan semakin mengkristal, maka hampir dipastikan bahwa tidak akan ada kenyamanan untuk  hidup sebagai sebuah bangsa. Dalam keadaan seperti ini, yang ada hanyalah saling curiga, saling memfitnah dan yang kuat menindas yang lemah. Agama yang sejatinya menjadi sarana untuk mencapai tujuan masyarakat yang adil, makmur, aman dan sejahtera, pada akhirnya menjadi momok yang menakutkan bagi banyak orang.

III.       Kebebasan Beragama: Hak Asasi yang Dijamain dalam UUD 1945.
Dasar negara Indonesia tidak berdasarkan agama, tetapi salah satu unsur penting dalam Dasar Negara Pancasila adalah ketuhanan (sila pertama Pancasila). Sebuah kesadaran bahwa walaupun Indonesia bukan Negara agama, tetapi penduduk mereka memeluk  banyak agama dan keyakinan, sebagian besar mereka adalah orang-orang yang bertuhan. Keyakinan atau keputusan seseorang untuk memeluk suatu agama mesti dipahami sebagai hak dasar setiap indifidu. Dan implikasi dari pemahaman tersebut adalah seseorang atau komunitas beragama, mesti bebas bekspresi dalam menjalankan ibadat dan keyakinannya itu tanpa harus ditkan oleh pihak manapun apalagi negara. Termasuk haknya untuk mendirikan Rumah Ibadat bagi pelaksanaan ritual keagamaannya itu.
Para Founding Fathers juga menyadari hal itu, bahwa sejak awal berdirinya negeri ini, agama telah menjadi polemik tatkalah dasar hidup bersama sebagai bangsa dan negara harus diletakan. Salah satu dasar yang penting dan terlihat afif bijaksana yang diputuskan adalah  batang tubuh UUD 1945 pasal 29 ayat (1) Negara bedasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.[12]
Jaminan seperti ini sangat penting bagi suatu kepastian untuk hidup bersama sebagai bangsa yang majemuk berdasarkan agama, bahkan di awal pendirian negara Indonesia, agama menjadi salah satu penyebab beberapa wilayah ingin pisah atupun bergabung menjadi bagian atau tidak menjadi bagian dari negara Indonesia. Kehidupan beragama mesti diatur sebaik-baiknya, sehingga setiap warga negara merasa nyaman dan mempunyai hak yang sama, dihargai yang sama dan seterusnya. Bahkan dalam draft Hukum Dasar yang dirancang oleh BPUPKI tertaggal 11 Juli 1945, tentang agama, pasal 29, terlihat sebuah rumusan yang menarik, hanya ada satu ayat yang berbunyi “Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apapun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing”[13]. Suatu rumusan hukum dasar yang sederhana, tetapi sungguh-sungguh menghargai kebebasan dalam beragama, bukan yang kemudian direduksi menjadi lima agama saja. Dan sesungguhnya dalam pasal tentang agama yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945, juga menjamin kebebasan itu, dan tidak secara eksplisit disebutkan bahwa 5 agama saja.
Tetapi ternyata dalam kenyataan berbangsa dan bernegara, sejarah mencatat bahwa terjadi begitu banyak penyimpangan terhadap Hukum Dasar yang sudah dietapkan bersama itu. Di beberapa daerah, justru Perda dan Surat Keputusan Mentri “mengalahkan”  konstitusi kita, UUD 1945. Dalam kenyataan seperti ini, mestinya semua elemen bangsa sadar bahwa kita telah menyimpang jauh dari apa yang ada dalam UUD negara kita. Dan lebih dari itu, menyimpang dari cita-cita luhur para pendiri bangsa ini, menyimpang dari kesepakatan  hidup sebagai sebuah bangsa yang plural untuk hidup bersama.

IV.       SKB Mentri; Konspirasi Menjalankan Politik Identitas Beragama?
Kasus penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di, Cikeusik, Pandegelang-Banten Februari 2011 lalu adalah salah satu cerminan dari bentuk ketidaksukaan golongan agama tertentu terhadap keyakinan agama orang lain. Kasus perusakan Rumah ibadat Ahmadiyah dan penganiayaan terhadap jemaah Ahmadiyah bukanlah kali pertama di Indonesia. Perlakuan yang sama juga bukan hanya berlaku kepada para pemeluk keyakinan lain yang dianggap “sesat” saja, tetapi juga kepada warga negara pemeluk agama yang resmi (6 agama versi pemerintah). Pembakaran dan perusakan gereja, dan ijin mendirikan gedung gereja yang sangat sulit di beberapa daerah kerap kali terjadi di negeri ini. Kita menyaksikan sendiri di tempat tinggal kita maupun mendengar dari berbagai media masa.
 Tahun lalu, penyegelan terhadap Gedung Gereja HKBP disertai penusukan Pendeta jemaat tersebut terjadi di Bekasi. Yang baru-baru ini terjadi (belum sampai seminggu, 17 April 2011), yakni ijin mendirikan Rumah Ibadah yang tidak dikabuklan oleh pemerintah kota Bogor bagi salah satu Jemaat GKI, sehingga membuat jemaat tersebut harus long march ke depan Istana Negara dan beribadah Minggu di sana sebagai bentuk protes warga terhadap pemerintah. Selain contoh kasus-kasus di atas, masih banyak kasus- kasu seperti itu yang tidak diekspos dan sengaja ditutupi. Biasanya massa dari penganut agama tertentu berlaku seperti “pengadil jalanan” tanpa menghargai Konstitus, UUD di negeri ini. Masyarakat memang mempunyai andil dalam aksi-aksi, pengrusakan, penyegelan dan pelarangan orang beribadah/mendirikan Rumah ibadah, tetapi bukan berarti pemerintah tidak punya andil. Pemerintah yang sejatinya berlaku adil justru “sengaja” menerbitkan, peraturan (SKB) di luar Tata urytan perundangan yang berlaku di negeri ini,  dan kelihatannya bertentangan dengan jiwa  dari UUD 1945.
Sepanjang pengetahuan saya, ada 3 SKB (Surat Keputusan Bersama) yang dikeluarkan pemerintah yang justru memicu ketegangan  hubungan antar umat beragama di Indonesia. Saya menduga bahwa SKB-SKB itu dikeluarkan dengn tujuan tertentu, yakni politik identitas yang menguntungkan suatu golongan agama dengan beberapa alasan. Tahun 1969, SKB No 1 tentang pelaksanaan tugas aparatur pemerintah berkaitan dengan pelaksanaan dan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeliknya. SKB ini memicu pro-kontra dalam masyarakat, golongan agama yang merasa dirugikan menginginkan SKB ini dicabut,[14] sementara golongan yang merasa diuntungkan dari pemberlakuan SKB No 1 tahun 1969 ini menghendaki agar SKB ini tetap dipertahankan.[15] Yang berikut, SKB No 8 dan 9 tahun 2006, yang salah satu dari 3 point pentingnya adalah masalah pendirian Rumah Ibadat. SKB ini kemudian dikenal dengan SKB 2 mentri atau sering disebut Peraturan Bersama Mentri (PBM) dalam negeri dan mentri agama. SKB ini kemudian lalu dimanfaatkan begitu rupa sehingga, di daerah-daerah mayoritas agama tertentu Rumah Ibadat sulit didirikan dengan alasan butir-butir SKB tadi.
Sementara di sisi lain, komunitas masyarakat tertentu yang tidak mengetahui isi SKB 2 mentri itu, walaupun hanya ada 4 atau 5 warga minoritas agama lain yang menhendaki rumah ibadah mereka didirikan, tidak mendapat halangan, karena warga tidak tahu isi SKB itu, ini yang juga dimanfaatkan menjadi keuntungan bagi kelompok agama tertentu. Produk-produk SKB ini juga memicu eksklusifisme daerah dengan mayoritas agama tertentu. Celakanya pemerintah-pemerintah daerah ikut menyuburkan bahaya ketidakrukunan ini dengan mensahkannya dalam Perda-perda. Dan daerah lain yang sebelunya tidak berpikir eksklusif, akhirnya ikut-ikutan berpikir eksklusi juga, misalnya kalau Banten atau Aceh bisa jadi kota berbasis Syariah, kenapa Manokwari tidak dijadikan kota injil. Pemerintah daerah juga tergoda, dan ini bahaya bagi masa depan kerukunan antar umat beragama di bumi Pancasila ini.
Yang terakhir adalah dikeluarkannya SKB tanggal 9 juni 2008 tentang Ahmadiyah. Surat Keputusan bersama ini ditandatangani oleh mentri agama, mentri dalam negeri dan jaksa agung, karena itu sering dikenal dengan SKB 3 mentri, dengan 7 butir keputusan tentang jemaat Ahmadiyah Indonesia[16]. Tidak bedanya dengan SKB-SKB sebelumnya yang pada giliranya memicu pro-kontra dalam masyarakat. Bahkan SKB ini berbuntut panjang kepada Daerah-daerah tertentu lewat Gubernur dan Bupati kepalah daerah  yang mengeluarkan Perda untuk melarang kegiatan Ahmadiyah, seperti Jawa Timur dan Jawa Barat, sedangkan daerah yang lainnya tidak setuju, seperti DI Yogyakarta dan Bali yang tidak melarang Ahmadiah.
Selain Kepala daerah, TNI yang seharusnya bertugas menjaga Pertahanan Negara, malah ikut ambil bagian dalam mengintimidasi jemaah Ahmadiyah. Adalah Pangdam Siliwangi dan anggotanya yang juga melakukan hal-hal yang bukan menjadi wewenang mereka. Panglima Kodam III Siliwangi, Moeldoko mengajak umat non Ahmadiyah untuk menduduki tempat-tempat ibadah milik jemaah Ahmadiyah. Peneliti LSM HAM imparsial Al Araf menegasakan bahwa selain melanggar HAM, TNI juga melakukan semua itu tanpa dasar hukum yang jelas. Berbagai pergerakan TNI yang menekan Ahmadiah ini, marak dilakukan setelah terbit Peraturan Gubernur Jawa Barat yang melarang Aktifitas Ahmadiah.[17] Politisi PDIP,  TB Hasanudin membeberkan bahwa, ada 56 tindakan anggota TNI di wilayah Kodam Siliwangi yang memaksa para anggota Ahmadiah untuk menyatakan“bertobat” dan keluar dari Ahmadiyah. Sebanyak 56 tindakan TNI itu, menyebar di berbagai kabupaten di Jawa Barat yang memang terdapat banyak anggota Ahmadiyah seperti Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, Majalengka dan Indramayu. Hampir di daerah yang ada jemaah Ahmadiyah, Babinsa, Koramil atau Kodim mendata jemaah, menduduki mesjid, dan memerintahkan MUI untuk mengganti Imam Salat Ahmadiyah.[18]
      Keluarnya SKB 3 mentri dan imbasa dari SKB itu juga memunculkan keprihatinan banyak pihak. Direktur Amnesty Internasional untuk Asia Pasifik, Zia Zarif mendesak presiden Yodoyono serius melindungi kelompok minoritas di Indonesia termasuk Ahmadiyah. Ia menambahkan bahwa kekerasan terhadap kelompok minoritas di Indonesia semakin marak. Fakta ini bertentangan dengan konstitusi di Indonesia yakni UUD 1945. Karena itu ia, berharap presiden mencabut SKB 3 mentri tentang Ahmadiyah,  menurutnya SKB tersebut justru memicu tindakan kekerasan terhadap Ahmadiyah[19].
Selain dari dalam negeri, keprihatinan terhadap apa yang dialamai oleh warga Indonesia yang “minoritas” datang juga dari negera lain terhadap kebijakan pemerintah Indonesia, Negara yang mengaku demokrasi ini dan menjunjung HAM ini. Jaksa Agung muda bidang intelejen, Kejagung, Edwin Situmorang menyampaikan bahwa 27 Anggota Kongres AS menyurati presiden SBY agar mencabut  SKB tersebut. Dalam surat yang dikirim Selasa (15/3/2011) melalui Kedubes Indonesia di AS, anggota kongres menyatakan prihatin atas keputusan pemerintah menyelesaikan kasus Ahmadiyah[20].
V.       Masa Depan Kerukunan Umat Beragama di Bumi Pancasila; SKB VS UUD 1945.
Dalam pelaksanaan di lapangan, ternyata SKB-SKB tersebut lebih banyak menimbulkan kesulitan dan tidak menjunjung tinggi Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945, khususnya yang dialami oleh agama-agama non muslim di Indonesia. Misalnya Pasal 4 SKB  no 1 thn 1969 tersebut yang tanpa petunjuk pelaksanaan yang jelas telah membuka kemungkinan interpretasi yang beragam yang justru makin mempersulit izin pembangunan gereja/tempat ibadah lainnya. Pasal 4 ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa Kepala Daerah/pejabat memberikan izin setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat, planologi, kondisi dan keadaan setempat bahkan jika dianggap perlu dapat diminta pendapat dari organisasi-organisasi dan ulama setempat.
Dari pengalaman konkrit di lapangan, sulit sekali memperoleh ijin dari pejabat setempat dan juga organisasi agama lain (lihat kasus GKI kota Bogor 17 April 2011 baru-baru ini) dengan berbagai alasan seperti;
a.  Pejabat yang berwenang seringkali tidak mampu memerankan diri sebagai pejabat pemerintah dengan visi kenegaraan yang memadai sehingga bersedia mengayomi warga negara serta membantu perizinan pembanguna Rumah Ibadat, tetapi lebih berfungsi sebagai pejabat yang beragama tertentu, dan sebab itu berpihak kepada satu kelompok agama tertentu.
Pejabat yang berwewenang acapkali tidak berani bersikap obyektif dan bertindak sebagai pejabat yang arif, namun sikapnya amat ditentukan oleh sejumlah tandatangan organisasi terentu atau warga yang digunakan sebagai syarat untuk memperoleh izin. Dan yang sering terjadi adalah masyarakat menolak pembangunan Rumah Ibadat walaupun merka tinggal jauh dari tempat pembangunan tempat ibadah yang akan dibangun (gereja misalnya).
b.      Pejabat setempat sering membuat persyaratan lokal (jumlah pemeluk agama, radius dari rumah ibadah agama lain, jumlah rumah ibadah sejenis yang telah ada), yang lebih berat dari isi SKB itu sendiri.  Instruksi Gubernur Jabar No. 28 Tahun 1990 menetapkan antara lain plafon 40 KK untuk bisa memperoleh izin pembangunan.  Keputusan Walikota Kodya Palembang No. 11/1990 antara lain mensyaratkan penelitian lapangan bagi pejabat pemda untuk mengecek apakah di lokasi pembangunan ada tempat peribadatan lain, atau tempat peribadatan sejenis, fasilitas hiburan dll.
              Selain itu beberapa titik lemah dari SKB-SKB itu adalah, ketentuan-ketentuan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum karena SKB tidak termasuk dalam Tata Urutan Peundang yang berlaku di negeri ini. Sesuai Tap MPR No.III/MPR/2000[21], tata urutan Perundanga itu  secara berurutan dari yang paling tinggi adalah sebagai berikut.
-          UUD 1945
-          Ketetapan MPR
-          Undang-Undang
-          Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang (Perpu)
-          Peraturan Pemerintah
-          Keputusan Presiden (Kepres) dan
-          Peraturan Daerah (Perda).
Karena itu terlihat bahwa SKB-SKB tersebut bertolak belakang bahkan menyeleweng dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, walaupun dalam konsiderans SKB tersebut menyebut Pasal 29 UUD 1945. Terlihat jelas bahwa penyebaran agama dan pelaksanaan ibadah agama diturunkan/direndahkan derajatnya menjadi kewenangan kepala daerah untuk mengaturnya, yang katanya untuk membimbing dan mengawasinya sehingga penyebaran tersebut tidak menganggu ketertiban umum. Peranan pemerintah/Kepala Perwakilan Departemen Agama juga terasa amat besar dengan SKB-SKB itu bahkan cenderung dapat mengintervensi khotbah di rumah-rumah ibadah sebagai suatu kegiatan sekuler yang mesti diawasi pemerintah demi terwujudnya stabilitas keamanan. Pendirian/pebangunan rumah ibadah justru dipahami sebagai pembangunan sebuah gedung yang tingkat kerawanannya amat tinggi sehingga membutuhkan “rekomendasi” dari berbagai pihak. Hal yang amat mendasar di sini adalah munculnya interpretasi seolah-olah pembangunan rumah ibadat itu amat tergantung pada rekomendasi/persetujuan/belas kasihan seorang pejabat atau suatu kelompok golongan tertentu.
              Pemerintah juga terkesan menggunakan cara cara yang curang sebagai legitimasi untuk mebenarkan SKB, misalnya dikatakan oleh mentri agama bahwa peraturan ini disusun dengan melibatkan wakil-wakil dari majelis-majelis agama tingkat pusat, pembahasanya telah berlangsung secara intensif, bersifat kekeluargaan, dan semua golongan telah menerimanya dengan lapang dada dan berbesar hati, padahal kenyataanya tidaklah demikian, produk-produk SKB terkesan dikeluarkan sepihak dan merugikan golongan minoritas agama tertentu.
              Bila, hal semacam ini terus berlangsung, golongan agama tertentu, maupun Pejabat pemerintah sendiri mengingkari kesepakatan bersama dan terkesan menjadikan UUD 1945 hanya seperti Konstitusi boneka yang tanpa makna. Sedangkan, di sisi lain, SKB yang jelas-jelas tidak memilki pendasaran hukum yang kuat justru dijadikan rujukan utama, maka bisa dipastikan kalau masa depan kerukunan umat beragama di bumi Pancasila ini akan terganggu dan berbahaya bagi keutuhan suatu bangsa yang sudah bertekad hidup bersama dalam kemajemukan, saling menghargai. Bahwa hak dasar tiap manusia Indonesia itu telah dijamin dalam Konstitusi tertinggi kita, UUD 1945, bukan SKB.


 NB : tulisan ini merupakan pengembangan dari tugas kuliah teman saya Bp. Helky Veermann....


                                             Sumber Bacaan

Buku :
-          Bahar Saafroedin dan Hudawati Nanie, Rishala Sidang BPUPKI dan PPKI, Sekretaria        Negara Republik Indonesia: Jakarta, 1998.
-          Dhay Fredy (dkk), Melintasi Sekat-sekat Perbedaan menuju Indonesia Baru yang Pluralis Inklusif, Pustaka Nusantara: Jakarta, 2007.
-          Darmaputera Eka, Pancasila, Identitas dan Modernitas; Tinjauan Etis dan Budaya BPK-Gunung Mulia: Jakarta 1987.
-          Maliki Sainuddin, Agama Rakyat, agama Penguasa: Konstruksi tentang Realitas Agama dan Demokrasi, Yayasan Galang: Yogyakarta, 2000.
-          Soekarno, Indonesia Merdeka, Kreasi Wacana: Yogyakarta, September 2007.

-          Soekarno (Penyunting, Pomeo Rahardjo dan Islah Gusmian), Bung Karno dan Pancasila, Menuju Revolusi Nasional, (Galang Press: Yogyakarta, 2002.
-          Suseno Utomo Bambang, Hidup Bersama di Bumi Pancasila, Pustaka studi Agama dan Kebudayaan , Malang : 1993.
-          Tunggul Alam, Wawan, Pertentangn Sukarno VS Hatta, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2003.
-          Yewangoe, A. A, Agama dan Kerukunan, BPK-Gunung Mulia: Jakarta. 2006.

-          ……………….., Peraturan Bersama Mentri Agama dan Mentri dalam Negeri no 8 dan 9 thn 2006 , Puslitbang Kehidupan Keagamaan  Badan Litbang dan Diklat Depag; Jakarta, 2006

-           http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7462741 . diunduh 16 April 2011.
-           


-          http//www.pendekarhukum.com. diunduh tanggal 16 April 2011


[1] .Bambang  Suseno Utomo, Hidup bersama di Bumi Pancasila, (Pustaka studi Agama dan Kebudayaan , Malang : 1993) hlm. 17.
[2] . Ibid. hlm. 17-18.
[3].  Eka Darmaputera, Pancasila, Identitas dan Modernitas; Tinjauan Etis dan Budaya (BPK-GM: Jakarta 1987). Hlm. 41-42.
[4] . Bambang  Suseno Utomo, Hidup bersama di Bumi Pancasila, (Pustaka studi Agama dan Kebudayaan , Malang : 1993) hlm. 20.
[5] . Ibid, hlm. 19-20.
[6] . Ibid, hlm. 15.
[7] . Ibid. hlm 14.
[8] .  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, Rishala Siding BPUPKI dan PPKI, Sekretariat Negara RI: Jakarta, 1998, hlm.52,  Antara lain Hatta tidak menerima agama dan negara adalah satu. Negara dan agama harus dipisahkan.
[9] .  Ibid, 42-43.
[10].  Ibid, 264 dan 269.
[11] . Ibid, 401.
[12] . Ibid, 556.
[13] . Ibid, 253.
[14] . Pendeta Nathan,  dari PGI pernah menghadap Presiden agar SKB ini dicabut.
[15] . MUI justru menghendaki  SKB No 1 thn 1969 ini dipertahankan.
[21] http//www.pendekarhukum.com. diunduh tanggal 16 April 2011

KESETARAAN DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL


Masyarakat Multikultural
Society atau Masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama. Kata masyarakat sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak.[1] Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen atau yang saling tergantung satu sama lain. Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Menurut Koentjaraningrat, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi suatu sistem adat istiadat tertentu yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Multikultural adalah istilah yang menunjuk pada keragaman atau kemajemukan budaya.  Secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”.[2] Ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut, baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari satu, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan dua konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, Gender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition) terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya.[3]
Sebagai sebuah terminologi multikulturalisme kadang agak membingungkan karena ia merujuk pada dua hal yang berbeda yakni realitas dan etika. Sebagai sebuah realitas, multikulturalisme dipahami sebagai representasi yang produktif atas interaksi diantara elemen-elemen sosial yang beragam dalam sebuah tataran kehidupan kolektif yang berkelanjutan. Sebagai sebuah etika, multikulturalisme merujuk pada spirit, etos, dan kepercayaan tentang bagaimana keragaman atas unit-unit sosial yang berciri privat dan relative otonom itu seperti etnisitas dan budaya semestinya dikelola dalam ruang publik.[4]
Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Lawrence Blum menyatakan bahwa multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis lain. ini berarti multikulturalisme meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek budaya-budaya tersebut, melainkan melihat bagaimana sebuah budaya yang asli dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.[5] Sementara H.A.R. Tilaar menyatakan bahwa multikulturalisme  merupakan sebuah upaya untuk menggali potensi budaya sebagai capital yang dapat membawa suatu komunitas dalam menghadapi masa depan yang penuh resiko. Disini multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan, diantaranya:  kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperialisme dan kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/masyarakat adat (indigeneous people), post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modenisme  dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi stuktur kemapanan dalam masyarakat. [6]
Dengan demikian maka multikulturalisme disatu pihak merupakan suatu paham dan di pihak lain merupakan suatu pendekatan yang menawarkan paradigma kebudayaan untuk mengerti perbedaan-perbedaan yang selama ini ada di tengah-tengah masyarakat.

Ada 5 macam multikulturalisme yakni :
·         Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada visi masyarakat sebagai tempat bagi berbagai kelompok kultural yang berbeda, menjalani hidup secara otonom dan terlibat dalam saling-interaksi.
·         Multikulturalisme akomodatif, mengacu pada visi masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
·         Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
·         Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
·         Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. [7]

Karena itu, dapat dikatakan bahwa Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen, baik itu suku, ras, dll yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat yang memiliki satu pemerintahan tetapi dalam masyarakat itu masing-masing terdapat segmen- segmen yang tidak bisa disatukan.
Dalam konteksnya, sering ditemukan bahwa pemahaman yang salah akan masyarakat multikultural, dapat menyebabkan timbulnya kesenjangan yang berpotensi untuk menjadi konflik. Ada berbagai macam bentuk ketidakadilan, diskriminasi dan kekerasan yang dapat terjadi dalam kehidupan masyarakat multikultural, apabila anggota masyarakat tidak mampu untuk menghargai dan menghormati berbagai perbedaan yang ada.

Problematika Kesetaraan dan Kesenjangan dalam Masyarakat Multikultural.
Dalam masyarakat majemuk manapun, mereka yang tergolong sebagai minoritas selalu didiskriminasi. Ada yang didiskriminasi secara legal dan formal, seperti yang terjadi di negara Afrika Selatan sebelum direformasi atau pada jaman penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang di Indonesia. Dan, ada yang didiskriminasi secara sosial dan budaya dalam bentuk kebijakan pemerintah nasional dan pemerintah setempat seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Oleh karena itu, perjuangan hak-hak minoritas hanya mungkin berhasil jika masyarakat majemuk Indonesia kita perjuangkan untuk dirubah menjadi masyarakat multikultural. Karena dalam masyarakat multikultural itulah, hak-hak untuk berbeda diakui dan dihargai.
Saat ini, multikulturalisme sudah menjadi masalah global bagi kita semua karena dengan adanya multikulturalisme dalam suatu negara, maka akan menimbulkan berbagai pengaruh yang tidak diinginkan oleh masyarakat di dunia ini. Sebagai contoh, seperti adanya konflik dalam masyarakat yang berbeda suku. Misalnya suku A merasa sukunya lebih baik daripda suku B. Begitu pula sebaliknya, suku B juga merasa sukunya lebih baik dari suku A. Dengan begitu, semakin mudahnya akan terjadi konflik dalam 2 suku yang berbeda tersebut. Contoh di atas merupakan salah satu contoh kecil dalam masyarakat multikultural karena dalam masyarakat multikultural masih banyak lagi terdapat berbagai masalah akibat dari beranekaragamnya kebudayaan dan kelompok-kelompok sosial yang mempunyai beragam kepentingan maupun pendapat.
Faktor-faktor[8] yang menyebabkan timbulnya masyarakat multikultural yaitu keadaan geografis, pengaruh kebudayaan asing dan kondisi iklim yang berbeda. Dalam faktor keadaan geografis ditandai dengan adanya perbedaan ras, adat istiadat maupun suku bangsa atau etnis. Dilihat dari segi geografis, Indonesia terdiri dari 17 ribu pulau dan tersebar di sepanjang daerah equator. Hal ini sudah jelas menjadi salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap terciptanya multikultural suku bangsa di Indonesia. Terlihat juga dengan banyaknya ras yang berdatangan ke Indonesia dan menyebar di berbagai daerah di Indonesia. Mereka menempati berbagai daerah serta mengembangkan budaya, bahasa dan adat istadat mereka yang berbeda-beda.
Faktor pengaruh kebudayaan asing juga berpengaruh terhadap terciptanya masyarakat multikultural. Dalam faktor pengaruh kebudayaan asing ditandai dengan adanya perbedaan agama dan budaya. Dilihat dari letak Indonesia yang strategis, yaitu berada di antara 2 Samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik). Hal ini sangat mempegaruhii proses timbulnya multikultural, seperti unsur kebudayaan dan agama. Jika kita perhatikan, Kepulauan Indonesia merupakan jalur lalu lintas perdagangan antara India, Cina, dan wilayah Asia Tenggara. Dengan adanya perdagangan tersebut, para pedagang asing mulai menyebarkan pengaruh kebudayaan dan agama sehingga masuk ke wilayah Indonesia dan menyebar di berbagai daerah. Penyebaran kebudayaan dan agama di berbagai daerah yang tidak merata tersebut menyebabkan terjadinya proses multikultural unsur dan kebudayaan.
Faktor kondisi iklim yang berbeda ditandai dengan adanya perbedaan jenis pekerjaan. Di Indonesia terdapat banyak suku bangsa yang tersebar di berbagai wilayah. Perbedaan wilayah yang satu dengan wilayah lainnya semakin terlihat jelas dengan adanya kondisi iklim yang berbeda. Misalnya daerah A merupakan daerah lautan yang menyebabkan masyarakat setempat bermatapencaharian sebagai nelayan. Di daerah B merupakan daerah pertanian yang menimbulkan masyarakat setempat mau tidak mau harus bermatapencaharian sebagai petani. Dari contoh tersebut, terlihat jelas bahwa perbedaan kondisi iklim sangat mempengaruhi terciptanya masyarakat multikultural dengan munculnya beranekaragam jenis pekerjaan dari masing-masing daerah.
Keragaman dalam masyarakat, tidak serta merta mempunyai dampak yang positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan keragaman ini juga bisa berpotensi negatif. Van de burghe sebagaimana dikutip oleh Elly M. setiadi (2006) menjelaskan bahwa masyarakat majemuk memiliki sifat-sifat sbb:[9]
a)      Terjadinya segmentasi kedalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan yang berbeda.
b)      Memiliki struktur social yang berbagi-bagi kedalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer.
c)      Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
d)     Secara relatif, seringkali terjadi konflik diantara kelompok yang satu dengan yang lainnya.
e)      Secara relatif, integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
f)       Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain.
Dilihat dari ciri-ciri diatas akan ada potensi yang melemahkan gerak jehidupan masyarakat itu sendiri. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khazanah budaya dan sebagai modal yang berharga untuk membangun indonesia Yang multikultural. Namun kondisi ini sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial.
Akibat dari keanekaragaman kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat multikultural tersebut, akan menyebabkan timbulnya berbagai masalah dalam masyarakat seperti kesenjangan multidimensional, konflik antaretnis, konflik antarpemeluk agama, di antaranya kesenjangan dalam kemasyarakatan, kesenjangan perekonomian, kesenjangan antara mayoritas, minoritas, pribumi maupun nonpribumi serta berbagai konflik sosial. Oleh karena itu, kita harus mencari pemecahan dari masalah-masalah tersebut
Konflik yang terjadi sesungguhnya bukanlah akibat dari keanekaragaman tersebut. Melainkan masalah itu mencul semata-mata karena tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok masyarakat dan budaya lain. Yang dibutuhkan adalah adanya kesadaran untuk menghargai, menghormati, serta menegakkan prinsip-prinsip kesetaraan atau kesederajatan antar masyarakat tersebut.
Salah satu hal yang penting dalam meningkatkan pemahaman antar budaya dan masyarakat ini adalah sedapat mungkin dihilangkan penyakit-penyakit budaya. Penyakit budaya inilah yang ditengarai dapat memicu konflik antar kelompok masyarakat di indonesia. Penyakit budaya tersebut adalah Etnosentrisme stereotip, prasangka, rasisme, diskriminasi, dan scape goating (sutarno,2007). Selain menghilangkan penyakit-penyakit budaya diatas, terdapat bentuk solusi yang lain yang dapat dilakukan. Elly M.stiadi dkk (2006) mengemukakan ada hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk memperkecil masalah yang diakibatkan oleh pengaruh negatif dari keragaman, yaitu:[10]
·         Semangat religius
·         Semangat nasionalisme
·         Semangat pluralism
·         Semangat humanism
·         Dialog antar umat beragama
·         Membangun suatu pola komunikasi untuk intraksi maupun konfigurasi hubungan antar agama, budaya, suku dan etnis.

Kesederajatan adalah suatu sikap untuk mengakui adanya persamaan derajad, hak, dan kewajiban sebagai sesama manusia. Indikator kesederajatan adalah sbb:
a)      Adanya persamaan derajat dilihat dari agama, suku bangsa, ras, gender, dan golongan.
Adanya persamaan hak dari segi pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan yang layak.
Adanya persamaan kewajiban sebagai hamba tuhan, individu, dan anggota masyarakat.
Problema yang terjadi dalam kehidupan umumnya adalah munculnya sikap dan prilaku untuk tidak mengakui adanya persamaan d
erajat, hak, dan kewajiban antar manusia atau antar warga. Prilaku ini biasa disebut deskriminasi.
b)      Diskriminasi merupakan tindakan yang melanggar HAM dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Program Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004 -2009 memasukkan program penghapusan deskriminasi dalam berbagai bentuk sebagai program pembangunan bangsa. Berkaitan dengan ini pemerintah mengambil arah kebijakan sbb: Meningkatkan upaya penghapusan segala bentuk deskriminasi termasuk ketidak adilan gender, bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum tanpa terkecuali, Menerapkan hukum dengan adil melalui perbaikan sistem hukum yang profesional, bersih dan berwibawa dan Penghapusan deskriminasi dilakukan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang anti diskriminitif serta pengimplementasiannya di lapangan.

Masyarakat Multikultural Indonesia.
Akar nasionalisme bangsa Indonesia sejak awal justru didasarkan pada tekad yang menekankan cita-cita bersama di samping pengakuan sekaligus penghargaan pada perbedaan sebagai pengikat bangsa. Kesadaran semacam ini sangat jelas terlihat Bhinnike Tunaggal Ika (berbeda-beda namun satu jua) adalah prinsip yang mencoba menekankan cita-cita yang sama dan kemajemukan sebagai perekat kebangsaan. Prinsipnya adalah bahwa negara dan masyarakat harus memberika ruang bagi kemajemukan pada satu pihak dan pada pihak lain tercapainya cita-cita kemakmuran dan keadilan sebagai wujud dan tujuan nasionalisme Indonesia.[11]
Anggapan bahwa pemahaman terhadap fenomena multikultural adalah suatu keharusan, karena realitas sosial masyarakat Indonesia sendiri, yang terdiri dari bermacam-macam etnis, budaya, bahasa dan agama serta status sosial yang berbeda-beda itu. Tidak ada satu wilayah, etnis, agama yang terbebas sama sekali dari komunikasi dan interaksi dengan etnis, agama, serta golongan lainnya dalam kehidupan bangsa ini. Kita bisa melihat bahwa masing-masing pulau di Indonesia mulai dari sumatera sampai ke Papua memiliki beragama bahasa, etnis, agama dan budaya. Isu ini menjadi semakin menarik bersamaan dengan adanya fakta desintegrasi yang diakibatkan oleh realitas multikultur yang membawa korban manusia. Karena itu, persoalan multi budaya dan akibatnya bukan hanya menjadi kepentingan sekelompok orang, tetapi menjadi bagian dari persoalan pemerintah, masyarakat, agama, dan malahan partai politik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan masyarakat kita dari hari ke hari, selalu berkembang paradigma kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Dua kelompok ini harus saling menghargai, kelompok minoritas ingin diakui keberadaannya oleh kelompok mayoritas karena mereka hanya sebagian golongan kecil. Kebutuhan utama dari kelompok minoritas adalah pengakuan terhadap hak hidup mereka, terutama ketika berhadapan dengan kelompok mayoritas. Hal ini berdasarkan gagasan multikulturalisme yang berkembang di Barat yang hanya memperjuangkan hak-hak asasi minoritas dan mengabaikan kewajiban asasi yang seharusnya menjadi balance dari hak-hak asasi. Kelompok mayoritas dan minoritas disini dipandang dari berbagai aspek baik agama (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Bbudha, Konghucu), politik (presiden, anggota DPR, gubernur, rakyat jelata), ekonomi (orang kaya dan orang miskin), etnisitas (Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Ambon, Kupang, Manado, Papua, Mandarin) dan lainnya. Aspek-aspek ini dengan sendirinya akan menimbulkan berbagai perbedaan, baik dalam hal taraf hidup (kehidupan ekonomi), pandangan politik dan keagamaan, perbedaan adat istiadat dan budaya, bahasa dan cara hidup dan berbagai perbedaan lainnya Perbedaan-perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat itu, jika dipandang sebelah mata akan menimbulkan gap di masyarakat itu yang berdampak adanya diskriminasi. Biasanya hal ini banyak dirasakan oleh kelompok minoritas karena mendapat perlakuan yang berbeda yang mengarah pada ketidakadilan.
Parsudi Suparlan mengatakan bahwa multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman termasuk di Indonesia. Hal ini karena multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaaan kultur, atau sebuah keyakinan yang mengakui adanya pluralisme kultur sebagai corak kehidupan yang mewarnai keberagaman di masyarakat. Dengan begitu, multikulturalisme akan menjadi jembatan yang mengakomodasi perbedaan etnik dan budaya dalam dimensi masyarakat yang plural.[12] Lebih jelasnya bahwa multikulturalisme sebenarnya mau memberikan ruang bagi kelompok-kelompok etnis seperti Pidie, Batak, Dayak, Betawi, Sunda, Jawa, Mandarin, Bali, Manado, Kupang, Ambon, Papua yang beragama Islam, Hindu, Budha, Konghucu, Katolik, Protestan dll untuk mampu hidup berdampingan dalam sebuah realitas sosial yang di satu pihak member tempat bagi terpeliharanya identitas lokal dan kepercayaan partikular masing-masing dan dipihak lain memberikan kesempatan bagi sebuah proses terjadinya integrasi sosial, politik, budaya dan ekonomi di tingkat nasional dan global.
Banyak konflik yang terjadi di Indonesia seperti konflik Maluku, konflik posso, konflik Sampit, Konflik di Mimika Papua, konflik dalam tubuh pemerintah semisalnya DPR/MPR bahkan yang paling sering, konflik antar mahasiswa di UKSW ini, terjadi karena adanya perbedaan kultur seperti diatas. Dari kasus-kasus yang ada di Indonesia ini, perlu adanya penanaman sikap untuk menghargai perbedaan, terutama diimplementasikan di dalam pendidikan formal. Khususnya yang paling berperan dalam hal ini adalah guru, karena beliau yang berinteraksi langsung dengan peserta didik. Pendidikan multikulturalisme perlu diselenggarakan mencakup 3 subnilai yakni (1) penegasan identitas kultural seseorang, (2) penghormatan dan keinginan untuk memahami dan belajar tentang (dan dari) kebudayaan-kebudayaan lain selain kebudayaan sendiri, (3) penilaian dan penerimaan tentang perbedaan kebudayaan itu sendiri.[13]
Di dalam masyarakat perlu juga diadakannya sebuah perubahan paradigma dalam wawasan multikultural. Paradigma multikultural memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki apresiasi dan respek kepada agama dan budaya orang lain. Dengan hal ini penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran pelaku di dalamnya untuk saling mengakui dan menghormati keberagaman identitas dan budaya yang disertai dengan semangat kerukunan dan perdamaian. Diharapkan dengan keadaan yang majemuk, pluralitas bangsa, etnis, agama hingga budaya akan bisa mereduksi berbagai pemicu timbulnya konflik. Selain itu, kehidupan multi-etnik  dan multi-kultur mengharuskan kita menuju proses terbentuknya gagasan kolektif masyarakat mengenai persatuan Indonesia yang berbineka. Realitas yang sangat plural di Indonesia ini, termasuk potensi multi-kultur. Sesungguhnya dapat mengayakan perbendaharaan budaya kita dengan berbineka-tunggal ika (diversity in unity) pada lambang Negara garuda pancasila secara ideal normatif. Kehidupan keindonesiaan yang sangat plural ini sudah diatur oleh suatu etik multi kultur formal dalam rangka hidup bersama secara damai dan saling asah-asih-asuh. Hal tersebut diperkuat lagi sebagai mana tertera dalam pasal 32 (1) UUD 1945 yang sudah di amendemen menjamin: Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peraban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya.[14]
Hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam hal ini adalah agama.[15] Antar agama harus ada hubungan yang harmonis. Hubungan atau relasi mengandung pengertian dari kedua belah pihak atau lebih untuk menjalin kerjasama dalam menjalankan tugas dan memikul tanggungjawab serta menguatkan dan memelihara hubungan yang hangat. Hubungan yang damai di antara manusia mencakup berbagai lingkup seperti keluarga, masyarakat dan manusia secara umum.
Dalam upaya membangun hubungan kerjasama antara multikulturalisme dan agama, minimal diperlukan dua hal. Pertama, penafsiran ulang doktrin-doktrin agama ortodoks yang dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif sehingga agama bukan hanya dipandang bersifat reseptif (mudah menerima) terhadap kearifan budaya lokal, melainkan juga memandu menjadi yang terdepan untuk menguatkan demokrasi dalam masyarakat-masyarakat beragama. Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan yang modern. Masyarakat harus mampu dihadapkan dengan sejarah baru dan mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak mendasarkan pada agama. Kita tidak bisa menghindar dari teori-teori sekuler yang berkembang di dalam masyarakat.
Hal yang lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan komunikasi antar budaya di Indonesia. Komunikasi ini dapat dilakukan melalui forum-forum dialog atau diskusi, ceramah maupun melalui media massa yang membahas tentang budaya-budaya daerah yang menjadi kekayaan budaya bangsa dan bagaimana hidup dalam sebuah konteks masyarakat yang mejemuk ini. perlu dilakukan juga imbauan atau penyuluhan kepada masyarakat tentang cara hidup bersama dalam sebuah masyarakat yang majemuk.

Kesimpulan dan Penutup
Beberapa hal yang dianggap penting dan harus diperhatikan oleh kita bersama dalam menata kehidupan bernegara dan berbangsa yang mutikultural adalah :
1.      Di dalam masyarakat multikultur, kita harus membedakan secara jelas antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah ruang, di mana setiap individu diikat oleh satu set norma-norma yang menjamin kesetaraan kesempatan di dalam segala bidang. Sementara, ruang privat adalah ruang, di mana setiap keragaman kultur diberi tempat, dan diberi pengakuan sepenuhnya. Ruang publik mencakup dunia hukum, politik, dan ekonomi. Ruang publik mencakup pula pendidikan, sejauh pendidikan terkait dengan pembentukan moralitas publik yang harus dimiliki oleh semua warga negara.
2.      Pendidikan moral, terutama yang terkait dengan sosialisasi dan penanaman ajaran-ajaran religius, haruslah tetap berada di dalam ruang privat.  Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini.
3.      Keberadaan nilai-nilai kultur minoritas tetaplah harus dipertahankan, karena nilai-nilai tersebutlah yang memberikan makna dan identitas bagi setiap orang yang hidup di dalam kelompok tersebut. Nilai-nilai tersebut mencakup mulai dari tata organisasi sosial yang ada di masyarakat, sampai keyakinan religius yang menjadi ciri unik dari kelompok kultur minoritas yang ada.
4.      Konflik dan benturan budaya antara kultur minoritas dan kultur dominan tidaklah terelakkan. Di dalam masyarakat multikultur, benturan tersebut haruslah dimaknai sebagai bagian dari dialog, dan dialog adalah satu-satunya cara yang mungkin, supaya masyarakat yang terdiri dari beragam kultur bisa hidup secara harmonis bersama. Oleh karena itulah, sangat dibutuhkan adanya kemunikasi antar budaya oleh seluruh masyarakat Indonesia. Ini dapat dilakuakn selain melalui pendidikan juga melalui forum-forum diskusi, dialog, ceramah, media massa maupun himbauan dari pemerintah untuk menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa.
Pergumulan bersama kita ke depan adalah : Apakah Indonesia sudah siap mewujudkan masyarakat semacam itu? Dalam kehidupan di Indonesia, kenyataanya alangkah tidak mudah bagi kelompok minoritas untuk berkembang. Tugas dan tanggung jawab kita bersama adalah untuk menciptakan adanya kesetaraan dan keadilan dalam kehidupan berbangsa agar semua orang baik yang mayoritas maupun minoritas memiliki hak yang sama untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi dirinya.

DAFTAR PUSTAKA


Ainul Yaqin, M.. Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Ata Ujan Andre dkk (Tim Penyusun), Multikulturalisme : Belajar Hidup Bersama dalam perbedaan , Jakarta : PT indeks, 2009.
Lash Andre A Scott & Featherstone Mike (ed.), Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture, London: Sage Publication, 2002.
Lubis, M. Ridwan , Cetak Biru Peran Agama, Merajut Kerukunan, Kesetaraan Gender, dan Demokratisasi dalam Masyarakat Multikultural, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005.
Herner.  RObeth W, (Ed), Politik Multikulturalisme : menggugat realitas kebangsaan, Yogyakarta : Kanisius 2007
Martono dkk (Tim penyusun), Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural, Surabaya : Forum rector Indonesia Simpul, 2003
Mulyana Deddy & Rakhmat Jalaluddin (Ed), Komunikasi Antar Budaya : paduan berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2005
Tilaar H. A. R., Multikulturalisme : Tantangan-tantangan global masa depan dalam transformasi Pendidikan Nasional , Jakarta : Grasindo, 2004.
Ata Ujan Andre : Membangun kepentingan bersama dalam Masyarakat majemuk, Jurnal volume 10, 2004.
Multikulturalisme dalam pendidikan Islam, Jurnal http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-II-06.pdf,
Majemuk Indonesia".  Jurnal Antropologi Indonesia, no. 6
Masyarakat majemuk, http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat : Masyarakat Majemuk



[2] Andre A Scott Lash dan Mike Featherstone (ed.), Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture (London: Sage Publication, 2002), hlm. 2-6.
[3] Jurnal Multikulturalisme dalam pendidikan Islam, http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-II-06.pdf, hlm 3
[4] Tim Penyusun Martono dkk, Hidup berbangsa dan Etika Multikultural (Surabaya : Forum Rektor Simpul, 2003), hlm 10
[5] Andre Ata Ujan dkk, Multikulturalisme : Belajar Hidup Bersama dalam perbedaan (Jakarta : PT indeks, 2009) hlm 14
[6] H. A. R. Tilaar, Multikulturalisme : Tantangan-tantangan global masa depan dalam transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta : Grasindo, 2004) hal 83 - 94
[7] Andre Utan Op.Cit., 15
[8] http://konspirasi.com/berita/pengertian-dan-sebab-sebab-masyarakat-multikultural

[9] Andre Utan : Membangun kepentingan bersama dalam Masyarakat majemuk, Jurnal volume 10, 2004.
[10] Majemuk Indonesia".  Jurnal Antropologi Indonesia, no. 6, hal. 1-12.

[11] Tim Penyusun  Martono dkk., Op.cit., hlm 11
[12] Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005)

[13] Tim Penyusun Martono., Op.cit., hlm 15
[14]  Ibid., Hal 25
[15] Lubis, M. Ridwan : Cetak Biru Peran Agama, Merajut Kerukunan, Kesetaraan Gender, dan Demokratisasi dalam Masyarakat Multikultural. (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005)