Minggu, 18 September 2011

“Kebebasan Beragama di Indonesia ; SKB Mentri Versus UUD 1945” (Analisis Sederhana Tentang Masa Depan Kerukunan Beragama di Bumi Pancasila)

I.        Indonesia; Bumi Pancasila.
Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia, yang terdiri dari  kurang lebih 17  ribu buah pulau kecil dan besar, dengn 5 buah pulau besar yakni: pulau Sumatera, pulau Jawa, pulau Kalimantan, pulau Sulawesi dan  pulau Irian (Papua). Kepulauaan Indonesia ini terletak di bawah garis katulistiwa, memanjang diantara benua  Asia dan Australia serta diantara lautan Teduh (Pasifik ) dan lautan Indonesia (Hindia). Letak geografis yang demikian menjadikan Indonesia berada di persimpangan jalan yang strategis dan ramai sekali[1]. Sejak permulaan tarikh Masehi, banyak bangsa telah datang dan pergi untuk berdagang dan atau akhirnya menetap di Indonesia, kawin mawin dengan penduduk asli dan beranak pinak. Oleh karena itu sudah sejak dulu, masyarakat Indonesia telah terbentuk menjadi masyarakat yang majemuk dalam banyak hal, terdiri atas berbagai suku, bagsa, bahasa, adat budaya, agama dan kepercayaan.
Asal muasal suku bangsa Indonesia sendiri seperti yang kita kenal adalah orang Indo-Cina yang biasa dikenal orang sebagai Deutro-Melayu, berasal dari daerah Yunan, suatu tempat di Cina Selatan pada hulu sungai Mekong[2]. Selain itu datang pula bangsa-bangsa dari Cina, India, Persia, Arab, Eropa dan lain-lain. Kehidupan orang Melayu umumnya berpusat pada pertanian dengan membentuk struktur sosialnya yang cocok adalah Desa yang mensyaratkan kerja sama yang luas diantara penduduk. Suatus istem social yang pada gilirannya melahirkan cara pengambilan keputusan bersama. Kepercayaannya adalah animisme dan dinamisme. Namun sikap sosiologisnya ditandai dengan kuatnya adat istiadat dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan di dalam tindakan, gotong royong maupun di dalam pengambilan keputusan atau musyawarah dengan tujuan menjaga serta memelihara keserasian serta keselarasan hubungan di dalam kelompok.[3] Kemudian juga datanglah pengaruh-pengaruh Hindu dan Budha yang melahirkan kerajaan-kerajaan Indonesia yang dilahirkan oleh bangsa Indonesia sendiri seperti Kutai, Tarumanegara, mataram Kuno, Kahuripan, Singasari dan Majapahit. Bersamaan dengan itu Agama Hindu dan Budha sudah diterima dan menyatu dengan banyak nilai-nilai asli indonesia. Hindu dan Budha juga sudah diterima sebagai agama Negara[4].
Lama kelamaan, Hindhu dan Budha ini makin menyatu sehingga pada Zaman Majapahit munculah semboyan Bhineka Tunggal Ika (dari buku/kitab Sutasoma). Khususnya di Jawa Timur pada akhir abad ke-12 M, berkembang aliran Tantriisme yang merupakan sinkritisme atau perpaduan antara Shivaisme dalam Hindu dan Budhisme. Bhineka Tungal Ika juga sebetulnya merupakan cerminan dari kemajemukan, sekaligus simbol kehidupan yang damai dan selaras dalam komunitas yang Majemuk, suku mangsa maupun agama. Kehidupa kemajemukan yang sudah berakar dari generasi ke generasi serta kejiwaan Timur yang begitu menekankan aspek rasa, secara sosiologis telah membentuk sifat dari sikap hidup yang cinta keselarasan dan keserasian (harmony), cinta damai dan tidak suka pengkutuban (polarisasi), toleran, gotong royong dan sinkritistis dengan sisi positif dan negatifnya.[5]  Hidup berdampingan dengan agama lain, suku bangsa lain bagi Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Tidak heran bila dikemudian hari ketika negara ini terbentuk menjadi Indonesia, Motto yang dipakai dulu di Majapahit untuk menggambarkan kemajemukan, toleransi beragama dan keselarasan, juga di pakai oleh negara ini untuk menggambarkan keistimewaan dan kekhasan bangsa yang terkenal dengan nilai-nilai luhurnya itu.
Selanjutnya ketika Agama Islam masuk ke Indonesia dan menanamkan pengaruhnya pada hampir seluruh lapisan masyarakat dan berhasil menjadi agama bagi sebagian besar rakyat Indonesia, disini juga terjadi proses asimilasi dengan budaya Indonesia. Ketika asimilasi belum juga tuntas, terjadilah interupsi dengan kedatanga peradaban Barat melalui penjajahan Portugis, Spanyol dan Belanda. Bersamaan denga itu, datang pula Agama Katolik dan Protestan. Kehadiran dan perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia pada galibnya menimbulkan gesekan-gesekan dalam kehidupan dalam kemajemukan itu. Dari rentang waktu perjalanan sejarah dan berbagai informasi akhir-akhir ini, betapa nyata bahwa perjumpaan antara pemeluk agama yang berlainan terutama antara Islam dan Kristen sering diwarnai oleh prasangka buruk, ketegangan, kebencian, pertkaian dan permusuhan yang berlarut-larut[6]. Padahal kehidupan yang damai dan harmonis dalam komunitas masyarakat Nusantara yang majemuk telah ada sejak dulu sebelum Agama Islam dan  Agama Kristen masuk.  Nilai-nilai itulah yang telah menjadi, identitas dan ciri orang Indonesia dengan budaya ketimurannya yang santun.[7]
Indonesia yang majemuk, Indonesia yang plural secara suku, ras dan agama dengan nilai-nilai luhurnya sejak dulu, itulah bumi kita, bumi Pancasila. Kemudian Dasar-dasar Pancasila itu mencerminkan identitas bangsa ini. Namun demikian, kemajemukan bangsa yang di satu sisi adalah kekayaan, keindahan, dan kebanggaan bangsa Indonesia, di sisi lain juga menjadi ancaman dan potensi konflik yang bisa terjadi. Sejarah mencatat bahwa gesekan Islam dan Kristen yang berbuntut pada konflik horizontal dan pembakaran, dan pelarangan mendirikan rumah-rumah ibadah oleh komunitas agama tertentu, adalah fakaa dan sisi lain dari kehidupan kemajemukan kita sebagai bangsa.
Adalah Soekarno, di awal kemerdekaan bangsa Indonesia ini yang menyadari sepenuhnya kehadiran kemajemukan kelompok etnik dan agama ini, dan berusaha mencari suatu dasar yang ideal dan dapat diterima untuk pembentukan bangsa yang dimimpikannya. Mengingat nama “Indonesia” lahir dari otak ilmuan, maka ia mencari dasar di komunitas ilmiah pula. Ia menemukan ide pembentukan bangsa yang dipaparkan filsuf Ernest Renan di Amphitetre Sorbonne, 11 Maret 1882 pukul 14.00. Paparan itu berjudul “Qu’est qu’ene nation? (apakah yang dimaksud dengan bangsa?) Dan inti jawaban itu adalah bangsa adalah tekad untuk hidup bersama, hidup bersama dalam keperbedaaan.  

II.          Munculnya “Politik Identitas” keagamaan.
Apa yang baik yang di usung Soekarno dan juga yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini, sepeninggalnya mereka  hal itu diabaikan begitu saja. Apa yang tersurat bahwa bangsa adalah tekad untuk memabangun hidup persama di bawah satu dasar Negara mulai bergeser ke arah politik identitas berdasarkan agama. Dalam politik seperti ini yang menjadi tujuan terakhir dalam berbagai usaha di bidang politik, sosial, ekonomi dsb, tidak lagi untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi demi kepentingan kelompok agamanya.
Politik identitas semacam ini muncul juga karena, ada catatan sejarah yang sepertinya “masih belum selesai”, khususnya pada saat dasar negar ini disusun. Kita ketahui bahwa ada beberapa pembicara pada saat siding BPUPKI yang mengusulkan tentang dasar negara Indonesia, salah satunya adalah Ki Bagoes Hadikoesoema. Pada 31 Mei 1945, ia bebicara panjang lebar dengan menginginkan dasar negar kita adalah Islam, hadist dan Quran sebagai rujukan argumentasinya. Namun ketika Islam tidak diterima oleh BPUPKI dan PPKI sebagai dasar Negara,[8] ada sesuatu yang menarik yang disampaikan oleh Ki Bagoes di akhir penjelasannya itu, yakni:
…”Al-Quran yang berisi lebih dari 6000 ayat itu hanya ada kira-kira 600 ayat saja yang mengenai hal ibadah dan akhirat, sedangkan selebihnya mengenai tata Negara dan urusan keduniaan. Bahwa apabila negara kita ini tidak bersendi agama Islam, kalau-kalau sampai penduduk yang terbanyak itu bersikap dingin terhadap Negara. Sebab umat Islam adalah umat yang mempunyai cita-cita yang luhur dan mulia sejak dahulu hingga sekarang ini seterusnya pada masa yang akan datang, yaitu ada kemungkinan dan kesempatan, pastilah umat islam akan membangun Negara atau menyusun masyarakat yang didasarkan atas hukum Islam dan sungguh, yang demikian itu memang telah menjadi tanggungan dan kewajiban umat Islam terhadap agamanya, apabila tidak berbuat demikian berdosalah mereka kepada Allah Tuhannya[9]

Walaupun nampaknya dalam siding lanjutan tertanggal 14 juli 1945, terliha Ki Bagoes lebih bisa menerima dasar Negara Pancasila dan bukan  dasar Negara Islam,[10] namun cita-cita itu tetap hidup, karena merupakan ideologi Islam.
Upaya untuk menjadikan negara ini dengan dasar Islam juga masih terus berlanjut, dan ini nampak dalam rancangan Unndang-Undang Dasar sementara dari kelompok Prof. Dr. P.A.H Djadjadiningrat tertanggal 15 Juni 1945, yang kemudian lebih dikenal dengan  sebutan Piagam Jakarta[11]. Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, walaupun pada akhirnya Islam sebagai dasar negara tidak diterima, namun upaya itu tetap dilakukan. Ibarat sebuah proyek yang tertunda. Bila politik identitas-agama ini terus berjalan semakin meluas dan semakin mengkristal, maka hampir dipastikan bahwa tidak akan ada kenyamanan untuk  hidup sebagai sebuah bangsa. Dalam keadaan seperti ini, yang ada hanyalah saling curiga, saling memfitnah dan yang kuat menindas yang lemah. Agama yang sejatinya menjadi sarana untuk mencapai tujuan masyarakat yang adil, makmur, aman dan sejahtera, pada akhirnya menjadi momok yang menakutkan bagi banyak orang.

III.       Kebebasan Beragama: Hak Asasi yang Dijamain dalam UUD 1945.
Dasar negara Indonesia tidak berdasarkan agama, tetapi salah satu unsur penting dalam Dasar Negara Pancasila adalah ketuhanan (sila pertama Pancasila). Sebuah kesadaran bahwa walaupun Indonesia bukan Negara agama, tetapi penduduk mereka memeluk  banyak agama dan keyakinan, sebagian besar mereka adalah orang-orang yang bertuhan. Keyakinan atau keputusan seseorang untuk memeluk suatu agama mesti dipahami sebagai hak dasar setiap indifidu. Dan implikasi dari pemahaman tersebut adalah seseorang atau komunitas beragama, mesti bebas bekspresi dalam menjalankan ibadat dan keyakinannya itu tanpa harus ditkan oleh pihak manapun apalagi negara. Termasuk haknya untuk mendirikan Rumah Ibadat bagi pelaksanaan ritual keagamaannya itu.
Para Founding Fathers juga menyadari hal itu, bahwa sejak awal berdirinya negeri ini, agama telah menjadi polemik tatkalah dasar hidup bersama sebagai bangsa dan negara harus diletakan. Salah satu dasar yang penting dan terlihat afif bijaksana yang diputuskan adalah  batang tubuh UUD 1945 pasal 29 ayat (1) Negara bedasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.[12]
Jaminan seperti ini sangat penting bagi suatu kepastian untuk hidup bersama sebagai bangsa yang majemuk berdasarkan agama, bahkan di awal pendirian negara Indonesia, agama menjadi salah satu penyebab beberapa wilayah ingin pisah atupun bergabung menjadi bagian atau tidak menjadi bagian dari negara Indonesia. Kehidupan beragama mesti diatur sebaik-baiknya, sehingga setiap warga negara merasa nyaman dan mempunyai hak yang sama, dihargai yang sama dan seterusnya. Bahkan dalam draft Hukum Dasar yang dirancang oleh BPUPKI tertaggal 11 Juli 1945, tentang agama, pasal 29, terlihat sebuah rumusan yang menarik, hanya ada satu ayat yang berbunyi “Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apapun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing”[13]. Suatu rumusan hukum dasar yang sederhana, tetapi sungguh-sungguh menghargai kebebasan dalam beragama, bukan yang kemudian direduksi menjadi lima agama saja. Dan sesungguhnya dalam pasal tentang agama yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945, juga menjamin kebebasan itu, dan tidak secara eksplisit disebutkan bahwa 5 agama saja.
Tetapi ternyata dalam kenyataan berbangsa dan bernegara, sejarah mencatat bahwa terjadi begitu banyak penyimpangan terhadap Hukum Dasar yang sudah dietapkan bersama itu. Di beberapa daerah, justru Perda dan Surat Keputusan Mentri “mengalahkan”  konstitusi kita, UUD 1945. Dalam kenyataan seperti ini, mestinya semua elemen bangsa sadar bahwa kita telah menyimpang jauh dari apa yang ada dalam UUD negara kita. Dan lebih dari itu, menyimpang dari cita-cita luhur para pendiri bangsa ini, menyimpang dari kesepakatan  hidup sebagai sebuah bangsa yang plural untuk hidup bersama.

IV.       SKB Mentri; Konspirasi Menjalankan Politik Identitas Beragama?
Kasus penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di, Cikeusik, Pandegelang-Banten Februari 2011 lalu adalah salah satu cerminan dari bentuk ketidaksukaan golongan agama tertentu terhadap keyakinan agama orang lain. Kasus perusakan Rumah ibadat Ahmadiyah dan penganiayaan terhadap jemaah Ahmadiyah bukanlah kali pertama di Indonesia. Perlakuan yang sama juga bukan hanya berlaku kepada para pemeluk keyakinan lain yang dianggap “sesat” saja, tetapi juga kepada warga negara pemeluk agama yang resmi (6 agama versi pemerintah). Pembakaran dan perusakan gereja, dan ijin mendirikan gedung gereja yang sangat sulit di beberapa daerah kerap kali terjadi di negeri ini. Kita menyaksikan sendiri di tempat tinggal kita maupun mendengar dari berbagai media masa.
 Tahun lalu, penyegelan terhadap Gedung Gereja HKBP disertai penusukan Pendeta jemaat tersebut terjadi di Bekasi. Yang baru-baru ini terjadi (belum sampai seminggu, 17 April 2011), yakni ijin mendirikan Rumah Ibadah yang tidak dikabuklan oleh pemerintah kota Bogor bagi salah satu Jemaat GKI, sehingga membuat jemaat tersebut harus long march ke depan Istana Negara dan beribadah Minggu di sana sebagai bentuk protes warga terhadap pemerintah. Selain contoh kasus-kasus di atas, masih banyak kasus- kasu seperti itu yang tidak diekspos dan sengaja ditutupi. Biasanya massa dari penganut agama tertentu berlaku seperti “pengadil jalanan” tanpa menghargai Konstitus, UUD di negeri ini. Masyarakat memang mempunyai andil dalam aksi-aksi, pengrusakan, penyegelan dan pelarangan orang beribadah/mendirikan Rumah ibadah, tetapi bukan berarti pemerintah tidak punya andil. Pemerintah yang sejatinya berlaku adil justru “sengaja” menerbitkan, peraturan (SKB) di luar Tata urytan perundangan yang berlaku di negeri ini,  dan kelihatannya bertentangan dengan jiwa  dari UUD 1945.
Sepanjang pengetahuan saya, ada 3 SKB (Surat Keputusan Bersama) yang dikeluarkan pemerintah yang justru memicu ketegangan  hubungan antar umat beragama di Indonesia. Saya menduga bahwa SKB-SKB itu dikeluarkan dengn tujuan tertentu, yakni politik identitas yang menguntungkan suatu golongan agama dengan beberapa alasan. Tahun 1969, SKB No 1 tentang pelaksanaan tugas aparatur pemerintah berkaitan dengan pelaksanaan dan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeliknya. SKB ini memicu pro-kontra dalam masyarakat, golongan agama yang merasa dirugikan menginginkan SKB ini dicabut,[14] sementara golongan yang merasa diuntungkan dari pemberlakuan SKB No 1 tahun 1969 ini menghendaki agar SKB ini tetap dipertahankan.[15] Yang berikut, SKB No 8 dan 9 tahun 2006, yang salah satu dari 3 point pentingnya adalah masalah pendirian Rumah Ibadat. SKB ini kemudian dikenal dengan SKB 2 mentri atau sering disebut Peraturan Bersama Mentri (PBM) dalam negeri dan mentri agama. SKB ini kemudian lalu dimanfaatkan begitu rupa sehingga, di daerah-daerah mayoritas agama tertentu Rumah Ibadat sulit didirikan dengan alasan butir-butir SKB tadi.
Sementara di sisi lain, komunitas masyarakat tertentu yang tidak mengetahui isi SKB 2 mentri itu, walaupun hanya ada 4 atau 5 warga minoritas agama lain yang menhendaki rumah ibadah mereka didirikan, tidak mendapat halangan, karena warga tidak tahu isi SKB itu, ini yang juga dimanfaatkan menjadi keuntungan bagi kelompok agama tertentu. Produk-produk SKB ini juga memicu eksklusifisme daerah dengan mayoritas agama tertentu. Celakanya pemerintah-pemerintah daerah ikut menyuburkan bahaya ketidakrukunan ini dengan mensahkannya dalam Perda-perda. Dan daerah lain yang sebelunya tidak berpikir eksklusif, akhirnya ikut-ikutan berpikir eksklusi juga, misalnya kalau Banten atau Aceh bisa jadi kota berbasis Syariah, kenapa Manokwari tidak dijadikan kota injil. Pemerintah daerah juga tergoda, dan ini bahaya bagi masa depan kerukunan antar umat beragama di bumi Pancasila ini.
Yang terakhir adalah dikeluarkannya SKB tanggal 9 juni 2008 tentang Ahmadiyah. Surat Keputusan bersama ini ditandatangani oleh mentri agama, mentri dalam negeri dan jaksa agung, karena itu sering dikenal dengan SKB 3 mentri, dengan 7 butir keputusan tentang jemaat Ahmadiyah Indonesia[16]. Tidak bedanya dengan SKB-SKB sebelumnya yang pada giliranya memicu pro-kontra dalam masyarakat. Bahkan SKB ini berbuntut panjang kepada Daerah-daerah tertentu lewat Gubernur dan Bupati kepalah daerah  yang mengeluarkan Perda untuk melarang kegiatan Ahmadiyah, seperti Jawa Timur dan Jawa Barat, sedangkan daerah yang lainnya tidak setuju, seperti DI Yogyakarta dan Bali yang tidak melarang Ahmadiah.
Selain Kepala daerah, TNI yang seharusnya bertugas menjaga Pertahanan Negara, malah ikut ambil bagian dalam mengintimidasi jemaah Ahmadiyah. Adalah Pangdam Siliwangi dan anggotanya yang juga melakukan hal-hal yang bukan menjadi wewenang mereka. Panglima Kodam III Siliwangi, Moeldoko mengajak umat non Ahmadiyah untuk menduduki tempat-tempat ibadah milik jemaah Ahmadiyah. Peneliti LSM HAM imparsial Al Araf menegasakan bahwa selain melanggar HAM, TNI juga melakukan semua itu tanpa dasar hukum yang jelas. Berbagai pergerakan TNI yang menekan Ahmadiah ini, marak dilakukan setelah terbit Peraturan Gubernur Jawa Barat yang melarang Aktifitas Ahmadiah.[17] Politisi PDIP,  TB Hasanudin membeberkan bahwa, ada 56 tindakan anggota TNI di wilayah Kodam Siliwangi yang memaksa para anggota Ahmadiah untuk menyatakan“bertobat” dan keluar dari Ahmadiyah. Sebanyak 56 tindakan TNI itu, menyebar di berbagai kabupaten di Jawa Barat yang memang terdapat banyak anggota Ahmadiyah seperti Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, Majalengka dan Indramayu. Hampir di daerah yang ada jemaah Ahmadiyah, Babinsa, Koramil atau Kodim mendata jemaah, menduduki mesjid, dan memerintahkan MUI untuk mengganti Imam Salat Ahmadiyah.[18]
      Keluarnya SKB 3 mentri dan imbasa dari SKB itu juga memunculkan keprihatinan banyak pihak. Direktur Amnesty Internasional untuk Asia Pasifik, Zia Zarif mendesak presiden Yodoyono serius melindungi kelompok minoritas di Indonesia termasuk Ahmadiyah. Ia menambahkan bahwa kekerasan terhadap kelompok minoritas di Indonesia semakin marak. Fakta ini bertentangan dengan konstitusi di Indonesia yakni UUD 1945. Karena itu ia, berharap presiden mencabut SKB 3 mentri tentang Ahmadiyah,  menurutnya SKB tersebut justru memicu tindakan kekerasan terhadap Ahmadiyah[19].
Selain dari dalam negeri, keprihatinan terhadap apa yang dialamai oleh warga Indonesia yang “minoritas” datang juga dari negera lain terhadap kebijakan pemerintah Indonesia, Negara yang mengaku demokrasi ini dan menjunjung HAM ini. Jaksa Agung muda bidang intelejen, Kejagung, Edwin Situmorang menyampaikan bahwa 27 Anggota Kongres AS menyurati presiden SBY agar mencabut  SKB tersebut. Dalam surat yang dikirim Selasa (15/3/2011) melalui Kedubes Indonesia di AS, anggota kongres menyatakan prihatin atas keputusan pemerintah menyelesaikan kasus Ahmadiyah[20].
V.       Masa Depan Kerukunan Umat Beragama di Bumi Pancasila; SKB VS UUD 1945.
Dalam pelaksanaan di lapangan, ternyata SKB-SKB tersebut lebih banyak menimbulkan kesulitan dan tidak menjunjung tinggi Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945, khususnya yang dialami oleh agama-agama non muslim di Indonesia. Misalnya Pasal 4 SKB  no 1 thn 1969 tersebut yang tanpa petunjuk pelaksanaan yang jelas telah membuka kemungkinan interpretasi yang beragam yang justru makin mempersulit izin pembangunan gereja/tempat ibadah lainnya. Pasal 4 ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa Kepala Daerah/pejabat memberikan izin setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat, planologi, kondisi dan keadaan setempat bahkan jika dianggap perlu dapat diminta pendapat dari organisasi-organisasi dan ulama setempat.
Dari pengalaman konkrit di lapangan, sulit sekali memperoleh ijin dari pejabat setempat dan juga organisasi agama lain (lihat kasus GKI kota Bogor 17 April 2011 baru-baru ini) dengan berbagai alasan seperti;
a.  Pejabat yang berwenang seringkali tidak mampu memerankan diri sebagai pejabat pemerintah dengan visi kenegaraan yang memadai sehingga bersedia mengayomi warga negara serta membantu perizinan pembanguna Rumah Ibadat, tetapi lebih berfungsi sebagai pejabat yang beragama tertentu, dan sebab itu berpihak kepada satu kelompok agama tertentu.
Pejabat yang berwewenang acapkali tidak berani bersikap obyektif dan bertindak sebagai pejabat yang arif, namun sikapnya amat ditentukan oleh sejumlah tandatangan organisasi terentu atau warga yang digunakan sebagai syarat untuk memperoleh izin. Dan yang sering terjadi adalah masyarakat menolak pembangunan Rumah Ibadat walaupun merka tinggal jauh dari tempat pembangunan tempat ibadah yang akan dibangun (gereja misalnya).
b.      Pejabat setempat sering membuat persyaratan lokal (jumlah pemeluk agama, radius dari rumah ibadah agama lain, jumlah rumah ibadah sejenis yang telah ada), yang lebih berat dari isi SKB itu sendiri.  Instruksi Gubernur Jabar No. 28 Tahun 1990 menetapkan antara lain plafon 40 KK untuk bisa memperoleh izin pembangunan.  Keputusan Walikota Kodya Palembang No. 11/1990 antara lain mensyaratkan penelitian lapangan bagi pejabat pemda untuk mengecek apakah di lokasi pembangunan ada tempat peribadatan lain, atau tempat peribadatan sejenis, fasilitas hiburan dll.
              Selain itu beberapa titik lemah dari SKB-SKB itu adalah, ketentuan-ketentuan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum karena SKB tidak termasuk dalam Tata Urutan Peundang yang berlaku di negeri ini. Sesuai Tap MPR No.III/MPR/2000[21], tata urutan Perundanga itu  secara berurutan dari yang paling tinggi adalah sebagai berikut.
-          UUD 1945
-          Ketetapan MPR
-          Undang-Undang
-          Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang (Perpu)
-          Peraturan Pemerintah
-          Keputusan Presiden (Kepres) dan
-          Peraturan Daerah (Perda).
Karena itu terlihat bahwa SKB-SKB tersebut bertolak belakang bahkan menyeleweng dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, walaupun dalam konsiderans SKB tersebut menyebut Pasal 29 UUD 1945. Terlihat jelas bahwa penyebaran agama dan pelaksanaan ibadah agama diturunkan/direndahkan derajatnya menjadi kewenangan kepala daerah untuk mengaturnya, yang katanya untuk membimbing dan mengawasinya sehingga penyebaran tersebut tidak menganggu ketertiban umum. Peranan pemerintah/Kepala Perwakilan Departemen Agama juga terasa amat besar dengan SKB-SKB itu bahkan cenderung dapat mengintervensi khotbah di rumah-rumah ibadah sebagai suatu kegiatan sekuler yang mesti diawasi pemerintah demi terwujudnya stabilitas keamanan. Pendirian/pebangunan rumah ibadah justru dipahami sebagai pembangunan sebuah gedung yang tingkat kerawanannya amat tinggi sehingga membutuhkan “rekomendasi” dari berbagai pihak. Hal yang amat mendasar di sini adalah munculnya interpretasi seolah-olah pembangunan rumah ibadat itu amat tergantung pada rekomendasi/persetujuan/belas kasihan seorang pejabat atau suatu kelompok golongan tertentu.
              Pemerintah juga terkesan menggunakan cara cara yang curang sebagai legitimasi untuk mebenarkan SKB, misalnya dikatakan oleh mentri agama bahwa peraturan ini disusun dengan melibatkan wakil-wakil dari majelis-majelis agama tingkat pusat, pembahasanya telah berlangsung secara intensif, bersifat kekeluargaan, dan semua golongan telah menerimanya dengan lapang dada dan berbesar hati, padahal kenyataanya tidaklah demikian, produk-produk SKB terkesan dikeluarkan sepihak dan merugikan golongan minoritas agama tertentu.
              Bila, hal semacam ini terus berlangsung, golongan agama tertentu, maupun Pejabat pemerintah sendiri mengingkari kesepakatan bersama dan terkesan menjadikan UUD 1945 hanya seperti Konstitusi boneka yang tanpa makna. Sedangkan, di sisi lain, SKB yang jelas-jelas tidak memilki pendasaran hukum yang kuat justru dijadikan rujukan utama, maka bisa dipastikan kalau masa depan kerukunan umat beragama di bumi Pancasila ini akan terganggu dan berbahaya bagi keutuhan suatu bangsa yang sudah bertekad hidup bersama dalam kemajemukan, saling menghargai. Bahwa hak dasar tiap manusia Indonesia itu telah dijamin dalam Konstitusi tertinggi kita, UUD 1945, bukan SKB.


 NB : tulisan ini merupakan pengembangan dari tugas kuliah teman saya Bp. Helky Veermann....


                                             Sumber Bacaan

Buku :
-          Bahar Saafroedin dan Hudawati Nanie, Rishala Sidang BPUPKI dan PPKI, Sekretaria        Negara Republik Indonesia: Jakarta, 1998.
-          Dhay Fredy (dkk), Melintasi Sekat-sekat Perbedaan menuju Indonesia Baru yang Pluralis Inklusif, Pustaka Nusantara: Jakarta, 2007.
-          Darmaputera Eka, Pancasila, Identitas dan Modernitas; Tinjauan Etis dan Budaya BPK-Gunung Mulia: Jakarta 1987.
-          Maliki Sainuddin, Agama Rakyat, agama Penguasa: Konstruksi tentang Realitas Agama dan Demokrasi, Yayasan Galang: Yogyakarta, 2000.
-          Soekarno, Indonesia Merdeka, Kreasi Wacana: Yogyakarta, September 2007.

-          Soekarno (Penyunting, Pomeo Rahardjo dan Islah Gusmian), Bung Karno dan Pancasila, Menuju Revolusi Nasional, (Galang Press: Yogyakarta, 2002.
-          Suseno Utomo Bambang, Hidup Bersama di Bumi Pancasila, Pustaka studi Agama dan Kebudayaan , Malang : 1993.
-          Tunggul Alam, Wawan, Pertentangn Sukarno VS Hatta, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2003.
-          Yewangoe, A. A, Agama dan Kerukunan, BPK-Gunung Mulia: Jakarta. 2006.

-          ……………….., Peraturan Bersama Mentri Agama dan Mentri dalam Negeri no 8 dan 9 thn 2006 , Puslitbang Kehidupan Keagamaan  Badan Litbang dan Diklat Depag; Jakarta, 2006

-           http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7462741 . diunduh 16 April 2011.
-           


-          http//www.pendekarhukum.com. diunduh tanggal 16 April 2011


[1] .Bambang  Suseno Utomo, Hidup bersama di Bumi Pancasila, (Pustaka studi Agama dan Kebudayaan , Malang : 1993) hlm. 17.
[2] . Ibid. hlm. 17-18.
[3].  Eka Darmaputera, Pancasila, Identitas dan Modernitas; Tinjauan Etis dan Budaya (BPK-GM: Jakarta 1987). Hlm. 41-42.
[4] . Bambang  Suseno Utomo, Hidup bersama di Bumi Pancasila, (Pustaka studi Agama dan Kebudayaan , Malang : 1993) hlm. 20.
[5] . Ibid, hlm. 19-20.
[6] . Ibid, hlm. 15.
[7] . Ibid. hlm 14.
[8] .  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, Rishala Siding BPUPKI dan PPKI, Sekretariat Negara RI: Jakarta, 1998, hlm.52,  Antara lain Hatta tidak menerima agama dan negara adalah satu. Negara dan agama harus dipisahkan.
[9] .  Ibid, 42-43.
[10].  Ibid, 264 dan 269.
[11] . Ibid, 401.
[12] . Ibid, 556.
[13] . Ibid, 253.
[14] . Pendeta Nathan,  dari PGI pernah menghadap Presiden agar SKB ini dicabut.
[15] . MUI justru menghendaki  SKB No 1 thn 1969 ini dipertahankan.
[21] http//www.pendekarhukum.com. diunduh tanggal 16 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar