Minggu, 18 September 2011

PLURALISME IDENTITAS DAN PROBLEMATIKA-NYA DI INDONESIA (Sebuah Refleksi Teologi Sosial dari Teori Identitas Manuel Castells)


1.   Pengatar (Berbagai Fenomena dan Masalah Identitas di Indonesia)
Setiap individu pasti memiliki identitas.  Identitas adalah ciri, tanda  dan jati diri yang melekat pada seseorang dan yang dapat membedakannya dari orang lain disekitarnya.  Identitas dapat menampilkan watak dan karakteristik seseorang. Identitas tidak hanya dimiliki oleh individu tetapi juga oleh kelompok. Berger dan Lukman menyebutkan identitas sebagai elemen kunci  dari realitas subjektif yang terdapat dalam hubungan dialektis dengan masyarakat.  Dalam proses sosial, identitas terbetuk, dikritalisasi, dijaga dan dimadifikasi lewat relasi sosial yang terbangun dengan orang lain. [1] Sebenarnya, identitas dalam setiap individu sudah ada sejak ia lahir di dunia ini, baik identitas keluarga, agama, etnik dan lainnya. Bahkan ketika seseorang diberi atau disebut dengan sebuah nama saja, sudah berarti ada sebuah identitas untuknya.
Indonesia sudah sejak lama dikenal sebagai Negara Pluralis baik itu agama, budaya, etnik, suku, masyarakat, bahasa dan sebagainya. Pluralitas agama, budaya, ras, bahasa, dan adat istiadat yang dimiliki bangsa Indonesia, jelas merupakan kekayaan spiritual yang tidak ternilai untuk terus dilestarikan dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini. Semua kemajemukan itu menjadi identitas yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia.
Idealnya bahwa Identitas seseorang, suatu kelompok, bangsa atau negara termasuk juga Indonesia merupakan kekhasan dan keunikan padanya, yang dapat dijadikan sebagai kekuatan. Indonesia sendiri dengan payung Bhineka Tunggal Ika yang dijewantahkan dalam butir-butir Pancasila, menjadikan simbol identitasnya sebagai bangsa yang majemuk atau pluralis yang menyatukan berbagai keragaman itu sebagai sebuah kekuatan. Pancasila menjadi simbol persatuan dan kesatuan seluruh masyarakat Indonesia, mulai dari zaman kemerdekaan dan membentuk sebuah negara (NKRI) dan masih dapat dipertahankan hingga saat ini.
Di masa kini,  Pancasila yang menjadi identitas bangsa Indonesia, sedikit demi sedikit mulai mendapat tekanan dan upaya untuk dirubah. Tampaknya pancasila, tidak lagi menjadi identitas yang kuat yang dapat menyatukan seluruh masyarakat Indonesia seperti pada zaman orde lama maupun orde baru. Indonesia kini hidup dalam zaman reformasi dan demokrasi. Hal ini menimbulkan terjadi berbagai reformasi di Indonesia dalam segala bidang, bahkan ada keinginan kuat juga untuk mereformasi dan merekonstruksi pancasila sendiri, yang selama ini menjadi identitas dan simbol persatuan bangsa. Selain itu, fenomena menarik lainnya adalah kecenderungan masyakat kini untuk menghidupkan identitas-identitas local entah itu identitas berbasis agama, etnik dan budaya menjadi identitas utama mereka ditaas pancasila sebagai identitas bangsa.
Di dunia ini termasuk juga di Indonesia, seseorang dapat memiliki lebih dari satu identitas dalam dirinya. Seorang yang lahir dari keturunan orang Jawa dan memiliki darah kebangsawanan (darah Biru) dapat memiliki identitas sebagai orang Indonesia, orang Jawa, orang dari keturunan bangsawan/keraton, dan kalau sudah beragama punya lagi identitas keagamaan baik Kristen, Islam, Hindu, Budha, Konghucu bahkan Kejawen (yang masih terikat kuat dengan agama dan adat Kejawen). Orang Batak, akan punya identitas sebagai orang Sumatera, orang Batak, orang Islam/Kristen dan bila punya banyak harta menyandang identitas sebagai orang Kaya. Orang ambon akan memiliki identitas sebagai orang Indonesia, orang Timur, orang Maluku, orang Maluku Tengah, tepatnya lagi orang Saparua, orang Haria, orang Kristen/Islam. Orang Kupang juga, akan memiliki identitas ganda sebagai orang orang Timur, orang Kupang, orang Rote, Flores, Sumba, kemudian berdasarkan agama orang Iislam/Kristen, bisa juga memiliki identitas sebagai keturunan raja, bangsawan, orang Merapuh dan sebagainya. Hal ini terjadi juga untuk masyarakat di daerah lain seperti papua, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan sebagainya. Semua identitas ini melekat pada dirinya (kelompok) dan menjadi faktor pembeda yang dapat membedakannya dari orang lain atau kelompok dan suku yang satu dengan kelompok dan suku yang lain.
Pada titik seperti diatas itulah, sering timbul berbagai konflik dan persoalan dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Konflik SARA menjadi konflik yang menghiasi kehidupan bangsa Indonesia pada beberapa tahun belakangan ini. Orang mulai lebih memikirkan dan mementingkan identitas etnik mereka, identitas agama mereka atau identitas budaya mereka daripada identitas orang lain. Timbul banyak pelecehan, penghinaan bahkan pengrusakan terhadap identitas orang lain. Orang-orang yang kemudian merasa identitasnya dilecehkan dan dihina bangkit memberikan perlawan dan serangan balik kepada orang yang menghina dan melecehkan. Akibatnya konflik tak dapat terhindarkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Masing-masing orang mempertahankan identitasnya sekuat tenaga mereka. Konflik-konflik ini, bukan hanya merugikan kehidupan masyarakat secara individu tapi juga kehidupan negara secara umum sebagai sebuah persekutuan berbangsa.  Selain kehilangan harta benda dan hak milik, nyawa seringkali menjadi taruhan dalam berbagai konflik SARA di Indonesia.
Beberapa kasus konflik di Indonesia yang bernuansa identitas antara lain :
·         Konflik di Ambon. Di Ambon, konflik terjadi antara masyarakat yang beragama Islam dan Kristen. Orang terkesan bahwa konflik di Ambon terjadi bernuansa identitas keagamaan. Hal ini terjadi karena adanya pengrusakan dan pembakaran terhadap gereja-gereja dan juga mesjid selaku tempat beribadah orang Kristen dan Islam di Ambon. [2]
·         Konflik di Posso, juga antara orang beragama Kristen dan Islam. Lagi-lagi identitas keagamaan yang dijadikan nuansa konflik. [3]
·         Konflik Sampit di Kalimantan Tengah. Disini, konflik terjadi antara orang-orang Dayak sebagai penduduk asli Kalimantan dengan orang-orang Madura sebagai kaum pendatang. Konflik bernuansa etnik dan budaya. [4]
·         Konflik di Mimika Papua antara suku Dani dan Suku Amungme adalah saah satu bentuk konflik antar etnis yang terjadi di Indonesia khususnya antar etnis dari satu daerh yakni Papua. Konflik Identitas Etnis dan Budaya.[5]
·         Konflik antara aliansi partai Demokrat, PKB dkk dengan aliansi partai Golkar, PKS dkk dalam ranah perpolitikan di Tanah air. Persoalan tentang kasus Bank Century beberapa waktu lampau yang menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, bahkan sampai ke dalam tubuh DPR sendiri. Penuntutan agar Wapres Boediono turun dari jabatan dari aliansi partai yang lain karena dianggap bersalah dalam kasus Century sementara aliansi partai lain tetap mempertahankannya karena dianggap tidak bersalah dalam kasus Century menunjukkan konflik bernuansa identitas politik.[6]
·         Mundur ke beberapa waktu lampau terjadi pertentangan hebat antara kaum perempuan dan laki-laki. Kaum perempuan yang merasa tertindas, dihina dan direndahkan martabatnya bangkit melawan kaum laki-laki dengan gerakan dan identitas feminis mereka. Dari gerakan yang biasa menjadi sangat radikal.
·         Konflik antara para pekerja dengan para pemilik modal atau pabrik yang terjadi di Indonesia hanya karena para pekerja merasa Haknya tidak dipenuhi dengan baik bahkan tak diperhatikan sementara para pemimpin pabrik bersenang-senang dengan hasil kerja mereka. Identitas mereka sebagai para pekerja direndahkan dan didominasi. Konflik ekonomi. [7]
·         Di salatiga dalam ruang lingkup UKSW, terjadi banyak konflik. Antara mahasiswa orang Ambon dan Kupang. Orang Ambon dan Papua. Orang Kupang dan Batak. Orang Papua dan Jawa. Orang Kupang dan Papua. Orang-orang dari Indonesia bagian Timur dan orang-orang dari Indonesia bagian Barat. Semua konflik ini berlatar identitas etnik dan budaya.[8]

Berbagai konflik diatas disamping banyak konflik lainnya di Indonesia, terjadi salah satu faktor penyebabnya adalah karena satu kelompok merasa identitasnya direndahkan oleh kelompok lain. Ia akan berjuang untuk mempertahankan identitasnya dengan melakukan perlawanan. Mulai dari perlawanan yang hanya biasa-biasa saja dalam bentuk demo hingga perlawanan yang ekstrim beruba pembunuhan, saling serang dan sebagainya. Semua hal ini menunjukkan bahwa identitas dari seseorang menjadi sangat sensitive dan dapat menjadi penyebab potensi konflik yang besar dalam masyarakat. Apapun bentuk identitasnya baik agama, etnik dan budaya, politik, ekonomi dan sebagainya.
Ada juga fenomena  lain menyangkut identitas di Indonesia yang tidak bermuara konflik secara terbuka. Antara lain :
a)      Ada wacana terutama bagi apra penduduk di daerah yang mayoritas atau seluruhnya beragama muslim (Islam) di Indonesia, untuk mewajibkan setiap orang khususnya untuk memakai jilbab. Dengan demikian Jilbab menunjukkan identitas agamanya.
b)      Program pemerintah yang mewajibkan setiap PNS dari pusat sampai daerah termasuk juga para pelajar (khususnya dari tingkat SD - SMU) untuk memakai batik sebagai pakaian wajib di sekolah/kantor selain pakaian seragam atau pakaian dinas yang telah dipakai setiap hari. Batik menunjukkan identitas budaya Indonesia.
c)      Orang-orang yang beragama Kristen umumnya, yang sering memakai perhiasan entah itu kalung, cincin, anting dan gelang yang ada simbol salibnya. Dengan demikian Salib menunjukkan identitas agamanya.
d)     Setiap daerah di Indonesia memiliki bahasanya masing-masing, adat-istiadat (baik pakaian adat, rumah adat maupun ritual adatis) yang berbeda-beda. Semua hal ini menunjukkan adanya identitas etnik, adat istiadat dan budaya dari masing-masing suku di Indonesia.

Identitas-identitas tersebut merupakan kekhasan dan keunikan yang dimiliki oleh masing-masing orang/suku di Indonesia. Jika identitas-identitas ini disatukan dalam sebuah pluralism identitas yang benar-benar kuat dengan melandaskan pancasila sebagai Identitas pedoman dalam kehidupan bernegara, maka tentu Indonesia akan menjadi negera yang sangat kuat dalam keberagamannya. Dan kalau saja, setiap orang/suku di Indonesia memahami bahwa berbagai identitas yang dimilikinya itu berbeda dari dari identitas orang lain dan bahwa tidak boleh ada saling pelecehan identitas atau pemaksaan identitas terhadap orang lain maka tentu kehidupan di Indonesia akan menjadi sangat baik. Apalagi bila masing-masing orang ammpu menyatukan berbagai identitasnya itu dengan identitas orang lain sebagai satu identitas bangsa maka berbagai konflik yang terjadi dalam negara Indonesia kemungkinana besar dapat terhindarkan.

2.   Teori Identitas Manuel Castells dan Analisisnya terhadap Pluralisme Identitas di Indonesia.
Terkait dengan konteks sosial masyarkaat Indonesia yang demikian, maka kita perlu untuk memahami apa situ identitas sebenarnya dana baimana memakai identitas tersebut dalam kehidupan berbangsa dna bernegara kita. Disini, saya akan memakai teori identitas Manuel Castells sebagai titik tolak untuk memahami identitas dan berbagai problematikannya di Indonesia.
Sekilas Tentang Manuel Castells
Manuel Castells adalah Profesor Universitas dan Ketua Wallis Annenberg Teknologi Komunikasi dan Masyarakat di University of Southern California (USC), Los Angeles. Dia adalah Profesor Komunikasi di Sekolah Komunikasi Annenberg & Jurnalisme, dan memegang janji bersama di Departemen Sosiologi, di Sekolah Kebijakan, Perencanaan, dan Pengembangan, dan di School of International Relations.
Dia, juga, Profesor Riset di Universitas Terbuka Catalonia di Barcelona, dan Profesor Emeritus, University of California, Berkeley, di mana ia adalah Profesor dari Kota dan Daerah Perencanaan dan Profesor Sosiologi 1979-2003 sebelum bergabung USC.
Ia lahir di Spanyol pada tahun 1942 dan dibesarkan di Valencia dan Barcelona. Ia belajar hukum dan ekonomi di Universitas Barcelona dan Paris. Ia menerima gelar doktor di bidang sosiologi dan gelar doktor dalam ilmu manusia dari Universitas Paris-Sorbonne. Dia pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1979.
Dia adalah anggota dari Akademi Eropa, anggota dari Royal Academy Spanyol Ekonomi dan Keuangan, dan Fellow korespondensi dari Akademi Inggris (FBA). Menjabat, atau melayani, pada papan atau dewan penasihat dari 21 jurnal akademik. Saat ini beliau adalah co-editor (dengan Larry Bruto) dari International Journal of Komunikasi. [9]
Meskipun Castells tumbuh dalam keluarga konsevatif, Dia tetap aktif dalam berbagai Organisasi seperti Internasional etis, ilmiah dan politik Collegium, salah satu organisasi yang bergerak dibidang kepemimpinan dan keahlian untuk mengembangkan sarana dalam mengatasi masalah perdamayan sosial yang adil. Ia adalah seorang Sosiolog yang berkaitan dengan masyarakat informasi dan penelitian tentang komunikasi (masyarakat jaringan).

Teori Identitas Castells
Dalam bagian pengatarnya di buku The rise  of the social Network Society,[10]Castells  menjelaskan tentang transformasi sosial yang sedang terjadi dengan sangat cepat. Perubahan terjadi hampir di semua bidang kehidupan, mulai dari bidang teknologi dan informasi, politik, kultur, ekonomi, agama dan hubungan sosial. Dalam kondisi yang seperti inilah, orang cenderung untuk membentuk kelompok-kelompok yang berbasis pada identitas, entah religius, etnis, teritorial, nasional, fundamentalisme dan lainnya.  Bagi Castells, Identitas memberikan maknamengenai manusia itu sendiri. Dalam hal ini identitas sebagai sesuatu yang mengacu kepada aktor sosial, dipahami sebagai proses susunan makna atas dasar suatu atribut dari kebudayaan, atau satu kumpulan atribut sosial yang saling berhubungan, yang diberi prioritas melampaui sumber makna yang lain. Yang dimaksud dengan kata makna yaitu identifikasi simbolik oleh aktor/pelaku sosial mengenai tujuan tindakannya.
Identitas memiliki kekuatan kuat bagi orang yang kepadanya identitas itu melekat. Ada dua bentuk identitas yaitu Identitas Individu dan Identitas pluralitas.[11] Identitas membedakan apa yang tradisional yang di sebut sebagai peran sosial dan serangkaian peran-peran. Bagi Castells, Ada perbedaan antara identitas dan peranan, identitas lebih kepada makna atau tujuan tindakan yang dibangun melalui proses individulisasi sedangkan peranan lebih menunjukan kepada label dalam diri seseorang. Castells berpendapat bahwa dalam kehidupanmasyarakat jaringanmakna diri atau identitas bagi kebanyakan aktor sosial diorganisasikan seperti identitas primer (yakni suatu identitas yang mengatur/memberi kerangka kepada yang lain), yang bersifat self-sustaining (mempertahankan diri sendiri) melampaui waktu dan tempat.
Pada dasarnya suatu identitas merupakan hasil dari  suatu susunan, yang bersumber pada macam-macam sejarah, geografi, biologi, institusi produktif dan reproduksi,  memori kolektif, aparatus kekuasaan dan penyataan agamawi. Dalam pembentukan indentitas, individu, kelompok sosial, dan masyarakat harus memproses seluruh materi-materi ini, mengatur kembali maknanya, sesuai dengandeterminasi atau ketetapan sosial dan proyek budaya yang berakar dari struktur sosial mereka, dalam kerangka waktu dan tempat. Karena konstruksi sosial dari identitas  selalu terjadi dalam konteks yang ditandai oleh hubungan kekuasaan, maka ada tiga bentuk dan asal usul dari pembangunan identitas:[12]
1.      Legitimizing Identity atau Identitas Pembenaran. Identitas ini biasanya diperkenalkan oleh institusi dominan dari masyarakat untuk memperluas serta merasionalisasi dominasi mereka atas aktor sosial. Setiap tipe menuju proses pembanganan identitas memiliki dampak yang berbeda dalam masyarakat.
2.      Resistance Identity atau Identitas Perlawanan. Identitas ini biasanya dimunculkan oleh aktor yang ada dalam posisi/kondisi yang tertindas/ dicap rendah oleh logika dominasi, karena itu membangun kekuatan penolakan dan survival atas dasar prinsip yang berbeda atau bertentangan dengan yang dipaksakan oleh masyarakat. Identitas ini di bangun atas dasar suatu bentuk perlawanan kolektif  terhadap suatu bentuk kebijaksanaan yang memberikan sebuah tekanan yang tidak dapat ditoleransi.
3.      Project Identity atau Identitas Proyek. Identitas ini biasanya dihasilkan ketika para pelaku sosial (pada basis apapun material kultural yang tersedia bagi mereka) membangun identitas baru yang mendefinisikan kembali identitas atau posisi mereka dalam masyarakat, serta mencari transformasi struktur sosial secara keseluruhan.
Dari pikiran dan penjelasannya itu, Castells secara garis besar membuat sketsa secara garis besar tentang apa itu sebenarnya identitas,, yakni sebagai berikut : [13]
a.       Identitas merupakan sumber makna dan pengalaman orang.
b.      Identitas juga dapat berupa proses konstruksi makna yang berdasar pada sebuah atribut kultural atau seperangkat atribut kultural, yang diprioritaskan diatas sumber-sumber pemaknaan lain.
c.       Identitas bersifat jamak dan juga plural. Tetapi pada hakikatnya identitas dapat dibedakan menjadi identitas individu dan identitas kolektif.
d.      Identitas tidak sama dengan peran atau seperangkat peran.
e.       Identitas merupakan sumber makna bagi dan oleh aktor sosial sendiri yang dikonstruksikan lewat proses individualisasi dan hubungannya dalam masyarakat.
f.       Identitas erat kaitannya dengan proses internalisasi nilai-nilai, norma-norma, tujuan-tujuan dan idealisme.
g.      Ada 3 bentuk dan asal usul identitas yakni identitas pembenaran, identitas perlawanan dan identitas proyek.

Analisis terhadap Pluralisme Identitas di Indonesia berdasarkan Konstruksi teori Identitas Castells
Dari Teori Identitas Castells, kita dapat melihat bahwa identitas sesungguhnya sangat berkaitan dengan “makna”. Identitas memberikan makna baik sebagai Individu maupun sebagai kelompok. makna disini adalah nilai-nilai baik budaya, moral, agama, etnik yang dimiliki atau didapat dari seseorang/kelompok ebrdasarkan identitas yang dimiliki dan yang melekat pada dirinya tersebut.
The Power of Identity”, Identitas memiliki power atau kekuatan bagi setiap orang atau kelompok yang kepadanya identitas itu melekat.
Identitas juga adalah bagian dari diri, dan diinternalisasi sebagai sebutan diri (jati diri) bagi setiap individu yang ada dalam konteks sosial. Identitas memiliki peran penting dalam hubungan antara struktur individual dan sosial, karena identitas adalah jati diri yang dibuat orang bagi diri mereka sendiri berkaitan dengan letak geografis (lokasi), struktur sosial dan peran mereka dalam realitas sosial masyarakat itu.
Di Indonesia seperti telah digambarkan di atas, Pancasila merupakan identitas yang mempersatukan masyarakat  di Indonesia sebagai sebuah kesatuan.  Disamping Pancasila ada juga identitas-identitas baik etnis dan budaya, agama, politik, ekonomi yang melekat sebagai identitas bagi setiap individu maupun kelompok di Indonesia. Berbagai identitas ini, pada kenyataannya memberikan makna bagi setiap orang dan idealnya seharusnya menjadi kekuatan yang kuat bagi setiap orang Indonesia.
Identitas budaya dan agama tampaknya merupakan identitas-identitas terbesar bagi setiap warga masyarakat di Indonesia. Di satu pihak identitas budaya dan agama ini bias menjadi legitimazing identity bagi setiap orang yang memakai identitas itu, namun dapat juga menjadi resistance identity dan project identity baginya. Hal ini sangat tergantung pada kondisi dan situasi, dimana orang itu berada.
Contohnya berbagai konflik yang bernuansa SARA di Indonesia seperti :
·         Konflik Sampit di Kalimantan Tengah. Disini, konflik terjadi antara orang-orang Dayak sebagai penduduk asli Kalimantan dengan orang-orang Madura sebagai kaum pendatang. Konflik bernuansa etnik dan budaya. [14] Banyak sebab yang membuat suku Dayak seakan melupakan asazi manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Orang dayak merasa bahwa  kehidupan mereka sebagai suku asli Kalimantan terdesak dan ditindas oleh kelompok pendatang terutama orang-orang Madura. Etnis madura yang punya latar belakang budaya kekerasan ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai pendatang). Sering terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu perang antar etnis Dayak-Madura. Dari cara mereka melakukan usaha dalam bidang perekonomian saja, mereka terkadang dianggap terlalu kasar oleh sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat Banjar sekalipun. Banyak cara-cara pemaksaan untuk mendapatkan hasil usaha kepada konsumen mereka. Banyak pula tipu-daya yang mereka lakukan. Namun, tidak semua suku Madura bersifat seperti ini. Apa yang dilakukan Etnis Madura ini, tampaknya merupakan Legitimazing Identity oleh karena merasa dominan. Masyarakat suku Dayak di Sampit selalu “terdesak” dan selalu mengalah. Dari kasus dilarangnya menambang intan di atas “tanah adat” mereka sendiri karena dituduh tidak memiliki izin penambangan. Hingga kampung mereka yang harus berkali-kali pindah tempat karena harus mengalah dari para penebang kayu yang mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus-kasus tersebut. Akibatnya timbul rasa kesukuan yang besar dalam kalangan masyarakat dayak untuk melawan. Identitas kaharingan dari semua orang dayak menjadi project identity sekaligus resistance identity untuk melawan kelompok yang menindas. Setelah mereka berhasil mengalahkan kelompok tersebut, identitas ini berupa menjadi legitimazing identity karena mereka menganggap apa yang mereka lakukan itu benar. Karena itu adalah tanah mereka, daerah mereka dan wajib mereka kuasai.
·         Konflik di ambon dan Posso. Terjadi pembakaran dan pengrusakan baik gereja maupun Mesjid sebagai tempat-tempat peribadatan dari orang Kristen dan orang Islam. Di daerah-daerah yang lebih banyak orang Islamnya, mereka melakukan pembakaran dan penyerangan terhadap orang-orang Kristen dan membakar gereja-gereja. Apa yang mereka lakukan mereka anggap benar karena mereka yang berkuasa (adanya Identitas pembenaran terhadap apa yang mereka lakukan) sementara itu orang Kristen yang mayoritas dan merasa terancam melakukan perlawanan terhadapnya (adanya identitas perlawanan karena merasa terancam dan ditindas.) begitu pun sebaliknya di daerah-daerah yang didominasi orang Kristen, terjadi penyerangan dan pembakran terehadap warga muslim dan tempat ibadah mereka. Tampaknya tempat ibadah disini juga, baik gereja maupun mesjid menjadi simbol identitas keagamaan bagi mereka. Beruntung bahwa tengah-tengah konflik tersebut khususnya di Maluku, budaya muncul sebagai identitas yang mendamaikan dan menyatukan masyarakat. Budaya “Pela Gandong” dimaluku muncul sebagai project identity yang menyatukan masyarakat Maluku baik Islam maupun Kristen. Selanjutnya budaya pela gandong menjadi Resistance identity untuk melawan segala bentuk provokator yang hendak mengadu domba dan membuat kerusuhan lagi di Maluku.
·         Satu contoh lagi yang bukan saja di Indonesia tetapi juga di dunia adalah tentang gerakan feminisme, yang bangkit sebagai project sekaligus resistance identity untuk melawan segala bentuk penindasan atas kaum perempuan. Berbagai permasalahan yang menimpa kaum perempuan saat ini, diyakini akibat hegemoni budaya patriarki yang mendominasi semua lini kehidupan. Di satu sisi, perempuan tampil juga sebagai penyiksa yang menindas kehidupan kaum laki-laki. Mungkin karena hendak membalas setiap perbuatan yang tidak baik kepada kaum perempuan, maka mereka pun balik menindas laki-laki. Bahkan terkadang membunu juga laki-laki. Feminism lalu berubah menjadi radikat dan menjadi legitimazing identity bagi setiap tindakan perempuan.

Pertanyaannya apakah, berbagai tindakan yang perbuatan yang berdasarkan pada identitas ini, mengubah kehidupan orang menjadi lebih baik ataukah justru menjadi semakin buruk??? Lalu bagaimana bentuk dari identitas yang memberikan makna bagi setiap individu ataupun kelompok sehingga identitas itu menjadi kekuatan yang mempersatukan mereka??
Saya akan berupaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini melalui refleksi Teologi Sosial.

3.   Refleksi Teologi Sosial.
Saya  akan memulai refleksi ini dengan mengatakan bahwa “setiap orang itu berbeda. tidak ada seorangpun yang sama persis dengan orang lain dalam segala hal. Masing-masing orang memiliki kelebihan dan keunikan tersendiri yang tidak akan pernah ada dalam diri orang lain sungguh alangkah indahnya apabila setiap orang menyatukan kelebihan dan keunikan dirinya dengan orang lain dan  hidup bersama dalam perbedaan yang rukun dan penuh penghargaan seorang akan yang lainnya. Bagi saya, inilah adalah sederet kalimat penting yang harus dipahami dan dimaknai oleh setiap orang yang beridentitas di Indonesia.
Kita perlu menyadari bahwa sebagai manusia, kita adalah makhluk sosial, makhluk yang tak bisa hidup sendiri, tetapi saling membutuhkan seorang akan yang lain. Bagaimana kita membangun persekutuan dengan orang lain, bagaimana kita hidup dengan damai bersama orang lain, akan terjadi ketika kita saling menghargai dan menghormati hak dan martabat orang lain.
1 Kor 12 : 12-26 mengajarkan bagaimana seharusnya masing-masing orang hidup dengan rukun dan damai dalam perbedaan. Ayat-ayat ini menyatakan bahwa setiap orang dalam persekutuan jemaat adalah satu sebagai tubuh Kristus. Baik orang kaya maupun orang miskin, baik orang yahudi aupun orang yunani, baik budak maupun ornag merdeka semuanya adalah satu dalam kristus dan merupakan bagian dari tubuh Kristus (ayat 13). Layaknya tubuh yang terdiri dari banyak anggota baik itu mata, mulut, telinga, tangan, kaki dan sebagainya tidak akan berfungsi dengan baik apabila salah satu anggotanya rusak atau tidak ada, oleh karena setiap anggota tubuh saling membutuhkan satu dengan yang lain untuk mengerakkan tubuh itu dan dapat berfungsi dengan baik.
Gambaran satu anggota banyak tubuh ini, dapat dimaknai dalam konteks kita selaku bangsa Indonesia. Ada banyak suku, baik itu batak, jawa, betawi, dayak, banjar, madura, kupang, ambon, papua dan sebagainya, tetapi kita ada dalam satu persekutuan yang besar sebagai bangsa Indonesia. Demikian pula, ada banyk agama baik islam, Kristen katolik, Kristen protestan, hindu, budha, konghucu bahkan kearifan-kearifan lokal yang masih ada dalam masykata tapi kita tetap menjadi satu sebagai bangsa Indonesia. Selain bahasa Indonesia, ada juga bahasa-bahasa daerah, adat istiadat yang berbeda tetapi sekali lagi kita semua adalah bangs aindonesia. Semua perbedaan tadi, adalah identitas bagi masing-masing orang baik sebagai individu maupun Kelompok. Identitas-identitas inilah yang membedakan kita atau kelompok kita dari orang lain atau kelompok lain namun tetap menjadikan kita sebagai satu bangsa, yakni bangsa Indonesia.
Dari 1 Kor 12 : 12 – 26 ini ada 3 hal utama yang dapat dijadikan pemaknaan bagi kita selaku bangsa dan masyarakat Indonesia untuk bagaimana hidup dalam keanekaragaman dan pluralitas identitas yang kita miliki.
·         Setiap orang harus memahami bahwa ia berbeda dengan ornag lain. Bahwa ia memiliki identitas tersendiri yang berbeda dari orang lain disekitarnya. Oleh karena itu, ia harus benar-benar mengetahui identitas yang dimilikinya atau yang melekat pada dirinya dengan baik (entah itu identitas suku, agama, budaya, pitik, ekonomi dan sebagainya). Dengan mengetahui dan memahami secara baik identitas dirinya, maka  ia akan punya kepekaan yang lebih kepada orang lain. Ia akan semakin menyadari bahwa sesungguhnya identitasnya tersebut adalah hal penting yang membedakannya dari orang lain disekitarnya dna merupakan kekuatan untuknya.  Oleh Karena itu, ia mesti juga menghormati identitas dari orang lain, karena identitas orang lain juga merupakan keunikan diri mereka. Karena berbagai perbedaan itulah yang menjadi keunikan dalam bangsa Indonesia. Lagi pula, ketika hidup dalam komunitas berbagai, kita bukan lagi suku ambon, kupang, papua, jawa dan sebagainya, tetapi kita telah menjadi sartu sebagai bangsa Indonesia dan pancasila menjadi identitas yang mempersatukan kita.
·         Setiap orang harus juga memahami bahwa identitas yang diperolehnya itu adalah anugerah dari Tuhan, yang telah melekat dalam dirinya sebagai jati diri dan citra diri baginya. Kemana pun kita melangkah, identitas kita apapun itu akan selalu melkat dalam diri kita. Sesungguhnya identitas-identitas yang berbeda itu, jika idsatukan akan menjadi sumber kekuatan besar dalam kehidupan berbagsa di Indonesia. Bayngkan jika seornag bangsa Indonesia hidup dengan identitas sumatera, jawa, Maluku, Kalimantan, Papua, Kupang dan sebagainya, betapa kayanya ia, betapa kuatnya ia ditopang dengan berbagai identitas tersebut.  Ini menjadi sebuah modal berharga untuk hidup bersama dalam pluralism identitas yang rukun di Indonesia.
·         Bagi saya ini paling penting yang harus diketahui, dipahami dan bahkan dimiliki oleh setiap orang di Indonesia, yakni sikap mengahrgai dan menghormati terhadap identitas dari orang lain. Penghargaan kepada identitas orang lain adalah hal yang amat penting untuk sebuah kehidupan bersama yang pluralis namun rukun dan damai. Memahami bahwa nkita masing-masing dengan segala identitas kita baik identitas agama, etnik dan budaya, adat istiadat, pilitik dan ekonomi namun kita merupakan satu bangsa. Sebagai orang jawa, kita tak bias hidup tanpa orang ambon, orang kupang atau orang papua, begitupun sebaliknya. Selalu saja ada dialog dan gubungan timbale balik antara semua masyarakat dalam kehidupan bernegara termasuk kita di Indonesia. Seperi 1 korintus yang mengisahkan tentang tubuh yang terdiri dari banyak anggota atau jemaat-jemaat yang merupakan bagian dari tubuh kristus, dan karenanya harus saling melengkapi dengan berbagai karunia yang mereka miliki agar tubuh Kristus menjadi kuat demikian juga kita bangsa Indonesia. Kita harus menyatukan semua idnetitas yang melekat pada diri kita menjadi identitas bhineka tunggal ika dalam payung pancasila agar bangsa indeonsia menjadi bangsa yang kuat dan dapat hidup bersama dalam konteks masyarakat yang pluralis namun tetap aman dan damai.

4.     Penutup.
Masyarakat Indonesia adalah masyaarakat yang majemuk yang terdiri dari berbagai budaya, agama, ras, suku, adat istiadat, bahasa dan sebagainya. Perbedaan ini seharusnya berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial, agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam khasanah budaya Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk kebanggaan dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik. Permasalahan silang budaya, agama, identitas dan berbagai perbedaan lain dalam kehidupan bernegera di Indonesia dapat terjembatani dengan membangun kehidupan multi kultural yang sehat ; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antar identitas baik budaya, agama dan sebagainya. Karena itu, setiap orang harus memiliki komitmen untuk tetap menjaga identitasnya masing-masing, komitmen untuk mengahrgai dan menghormati identitas orang lain dan komitmen untuk hidup bersama dalam sebuah pluralisme identitas yang rukun dengan orang lain disekitar kita.

KEPUSTAKAAN

Berger P dan Luckman Thomas,  The social construction of reality, an ancor book,  New York : Garden City Doubleday 1996
Castells Manuell,  The Information Age : Ekonomy, Society and Kultur Volume I : The Rise of The Network Society, Oxford London : Blackwell Publishing
______________, The Information Age : Ekonomy, Society and Kultur Volume Ii : The Power Of Identity, London : Blackwell Publishing, 2001
Sutrisno Mudji dan Putranto Hendar (Editor), Hermeneutik Pascakolonial – Soal Identitas,Yogyakarta : Kanisius, 2004


Sumber Lain



[1] Peter Berger dan Thomas Luckman : The social construction of reality, an ancor book,  Garden city, New York : doubleday 1996, hal 173

[7] Pengamatan dan kesimpulan Pribadi terhadap kehidupan bermasyarakat di indonesia
[8] Hasil pengamatan di salatiga.
[9]http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://annenberg.usc.edu/Faculty/Communication%2520and%2520Journalism/CastellsM.
[10] Manuel Castells,  The Information Age : Ekonomy, Society and Kultur Volume I : The Rise of The Network Society, Oxford London : Blackwell Publishing, hal 1-27
[11] Manuel Castells, The Information Age : Ekonomy, Society and Kultur Volume Ii : The Power Of  Identity, London : Blackwell Publishing, 2001, hal 6
[12] Ibid, hal 8
[13] Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Hermeneutik Pascakolonial – Soal Identitas,Yogyakarta : Kanisius, 2004, hal 86-87.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar